1. KAMPUNG PECAH KULIT
Banyak cara menghukum pada masa VOC. Keluyuran sebab hilang pekerjaan; sembarangan parkir gerobak di jalan; berbohong (utamanya kepada para meneer); tidur di bawah pohon; bahkan bila kau tanpa sengaja muntah di jalan akibat masuk angin: jelaslah kau sangat layak dijatuhi hukuman. Pukulan rotan, kerja paksa, atau dilempar ke bui selama tiga hari adalah jenis-jenis hukuman yang lumayan beradab demi menegakkan disiplin kaum inlander.
Khusus bagi para pengkhianat tentu ada hukuman lebih setimpal. Salah satunya hukuman bagi Pieter Elbelved. Menurut catatan harian panitera pengadilan Basiliun von Barend di Batavia, tertanggal 5 Juli 1722, Peter Elbelved adalah calo tanah blasteran Jerman-Jawa. Yudas Pengkhianat Kaum Kulit Putih ini dihukum Gubernur Jenderal Zwaardecroon tersebab berkomplot membantu serangan Raden Kartadria, priyayi Mataram, ke Batavia.
Tepat pukul dua belas siang, setelah pada pagi harinya tiga politierol (bila kini, kita bisa menyebut mereka hansip) keliling kampung mengumumkan putusan pengadilan, tibalah saat eksekusi bagi Peter Elbelved di satu tanah lapang. Cuaca terlihat sedikit mendung. Di bawah tatapan kuyup ratusan mata penduduk kampung, kedua tangan dan kaki Pieter Elbelved diikat, lalu, tanpa ampun, ditarik empat ekor kuda sampai putus; dari sanalah nama Kampung Pecah Kulit bermula.
2. AIB 50 GULDEN
Meneer Peter van Houfs diberi gelar oleh para jongosnya sebagai “Lelaki Tidak Biasa”. Gelar itu muncul bukan karena ia sering melakukan berbagai tindakan yang tidak biasa, seperti makan roti keju dengan cabe rawit, atau minum wine dicampur bubuk lada dan kapulaga yang ia sebut wine-rempah versi Hindia-Belanda, tetapi karena ia sering latah menyisipkan kata-kata “tidak biasa” saat sedang bercakap dengan sahabat atau jongosnya. Kali ini, ijinkan aku menceritakan tentang Meneer Peter van Houfs menurut sudut pandang istri van Houfs, Nyonya Irene. Kuharap kau mau membaca surat tidak biasaku ini sampai akhir.
Irene, sang nyonya yang bermata biru dan berambut hitam itu, dengan kulit kuning indo yang luar biasa mulus dan sanggup membuat semut dari jenis apa pun tergelincir, nyaris setiap hari mencatat dengan detil dalam catatan hariannya berbagai kelakuan tak biasa dari suaminya. Misalnya: 21 November 1857, Rabu… Aku benar-benar kesal hari ini, si tua bangka van Houfs itu, semoga setan-setan kalap di neraka tak lupa mencambuk punggungnya, benar-benar kelewatan. Dengan kegilaan manusia paling barbar yang telah kehilangan rasa malu, dan terjadi tepat di depan ujung hidungku, ia menyuruh Ponirah, ya Ponirah, gadis jongos yang ketiaknya menyemburkan bau minyak pala itu, lewat seuntai kata-kata beracun, “Hei, kamu Ponirah, seperti TIDAK BIASA kamu pijet punggung saya nanti malam yah…” Dasar tua bangka, meneer tua bangka!… Atau ini: 26 November 1857, Minggu… Semoga setan-setan di neraka menarik lidahnya, aku amat mual saat ia menyapa teman dagangnya dalam suatu pesta malam minggu, “Selamat malam Meneer Harmesma. Meneer 50 Gulden yang hina ini dengan TIDAK BIASA berharap penuh setulus-tulusnya, agar Meneer 100 Gulden selalu sukses menjual lada terbaik yang TIDAK BIASA hanya kepada saya.” Betapa menjijikkan basa-basi tidak biasa dari bajingan tua itu.
Demikianlah, lewat catatan hariannya, lebih tepatnya makian hariannya, si Nyonya 50 Gulden itu, yang selalu ramah menyambut suaminya dengan “oh sayangku” saat pulang kerja, bisa dengan aman menumpahkan segala kekesalan hati terhadap suaminya. Sebagai istri seorang meneer yang terhormat, ia mestilah selalu bersikap hormat kepada siapa pun, terlebih kepada suaminya, karena ia, bagaimanapun, tetaplah seorang perempuan terhormat dari Kerajaan Belanda. Hingga suatu hari, sehabis merasakan pijatan yang TIDAK BIASA dari Ponirah, aku, ya aku yang disapa jongosku sebagai Meneer Peter van Houfs, membaca catatan harian Nyonya 50 Gulden itu. Catatan harian itu tersimpan rapi di dalam satu peti kayu, nyaris begitu hati-hati, ditutupi karung-karung goni, di gudang tua bekas tempat penyimpanan ladaku. Dengan sedikit rasa aneh, selembar demi selembar, kubaca aibku sendiri.
3. ROSSIANA BUKAN RATU SHEBA
Perempuan-perempuan pribumi di Batavia, pada abad ke-18, menurut neneknya yang mendapat cerita dari buyutnya, adalah perempuan paling tabah terhadap bau badan suaminya. Pada tahun 1775, gubernur jenderal di Batavia melarang pemaksaan mandi dua hari sekali kepada soldadoe garnizun. Mereka cuma mandi seminggu sekali. Sementara “istri-istri” mereka, perempuan-perempuan pribumi yang wangi, dibebaskan mandi dua hari sekali.
Pada masa itu, Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra, yang tersohor dengan gelar “Meneer Pesta”, karena kecanduannya yang tak tertahankan pada pesta-pesta malam, mengimpor budak-budak perempuan dari Bali, Sulawesi, bahkan Koromandel di India. Dampaknya, sudah jadi sas-sus umum, bahwa perselingkuhan antara meneer Belanda dan budak perempuan pribumi (dan dari India juga) mulai merajalela di Batavia.
Salah satu kisah pilu, tepatnya sas-sus yang menyedihkan, adalah kisah Rossiana. Awalnya, sebagai budak perempuan umur enam belas tahun dari Bali, Rossiana (tentulah bukan nama aslinya) terpaksa seminggu sekali melayani nafsu-perselingkuhan-surgawi sang meneer yang membelinya. Pada masa itu, masyarakat Eropa yang kecanduan dengan rempah-rempah dari Hindia, memiliki mistifikasi keliru dengan menganggap rempah-rempah dihasilkan oleh tanaman yang diturunkan langsung dari surga. Setiap selesai menjemur lada dan kayu manis, Rossiana selalu didekati sang meneer yang mengendus-ngendus payudaranya seperti seekor anjing pudel, dan berkata, “Ah, Rossi… Bau tubuhmu seperti wangi surgawi Ratu Sheba…” Dan gadis berkulit coklat itu cuma terkikik malu. Itulah awalnya perselingkuhan sang meneer, dibumbui semacam mistifikasi bau tubuh istri Solomo, dengan budak perempuan bertubuh ramping dan berdada montok dari negeri seribu pura. Makin hari imajinasi mistis akan bau tubuh Ratu Sheba itu makin tak terkendali, dan hidung anjing pudel sang meneer pun minta dilayani nyaris setiap hari. Hingga akhirnya, istri sang meneer, nyonya Belanda yang bermata biru dan berambut ikal pirang, mencium bau busuk perselingkuhan suaminya.
Suatu malam, saat suaminya sedang berdinas menjalankan tugas persekutuan dagang untuk membeli lada di desa-desa, sang nyonya Belanda itu memerintahkan para jongos lelakinya mengumpulkan kayu bakar, membekap dan menculik Rossiana dari kamar budaknya, mengikat tubuhnya ke tiang kayu di hutan kecil, lalu membakarnya hingga jadi arang. Pagi harinya, beberapa jongos perempuan, yang tak tega mendengar nasib tragis gadis belia itu dari para jongos lelaki, mengumpulkan abu jenazahnya, lalu menghanyutkannya ke arus sungai Ci Liwung. Mereka berdoa semoga abu jenazah gadis Bali itu dapat “berlayar” pulang dengan damai ke tanah leluhurnya, ke kerajaan para Dewata.
Namun, saya masih merasa, kisah ini mungkin sedikit dilebih-lebihkan.
4. SILAT
Tuma Sutan Kentut Pahlawan, pada suatu malam di pesta yang ramai dan sedikit angin, putus harap atas politik etis di tanah Hindia. Demang muda itu yang selalu berpeci hitam, pemuka adat awal abad ke-20, tanpa dinyana, bersilat pada pesta malam itu dan melompat ke meja perjamuan Meneer Van Dick, lantas, dengan elegan, kentutlah ia semerdu-merdunya. Alhasil, nun sepuluh ribu tumbak tanah ulayat di kampungnya—beginilah heroisme ganjil kakekku—dirampas kongsi kebun Belanda.
5. KOLONIALISME CITA RASA
Banyak kini orang yang sedikit tahu, kolonialisme Eropa semula bukanlah terpicu cerlang logam kuning 24 karat, tetapi semata urusan penjinak cita rasa di lidah, karena—ada juga sedikit dibumbui bisik-bisik Ilahi—para penjelajah samudera dari Eropa itu percaya bahwa rempah-rempah berasal dari tanaman surga. Pada titik ini, kolonialisme jelas menampakan motif aslinya.
6. COCA COLA DARI BATAVIA
Bagi Coca Cola, pada mulanya bukanlah kata, tapi sedikit kayu manis, sedikit pala, sedikit getah barus dioplos air soda. Tiga sedikit itu, kecuali air soda, tanpa perlu manipulasi sejarah lagi, adalah nyata-nyata rempah paling eksotis dari koloni Batavia.
7. PEROMPAK
Para opas kompeni itu menyebutmu dengan gelar berlebihan: “Perompak Berkalung Seribu Hidung dari Selat Malaka”. Angin muson membawa desas-desus merendahkan itu ke daratan. Para syahbandar gemetar dan hanya sanggup berbisik saat menyebut gelarmu. Lubang telinga para hulubalang seperti tersumpal tahi kambing saat mendengar desas-desus tentangmu. Kini, kaurasa, ada gunanya sedikit berbesar kepala.
Malam itu, di bawah bulan sabit dengan bintang-bintang selatan di atasnya, di palka satu kapal layar yang kaurampas dari pedagang candu milik kerajaan Inggris, kau menatap cahaya suar dari Pelabuhan Singapura. Dari sanalah, gerutumu dalam hati, candu-candu siap dikirimkan ke pelabuhan-pelabuhan di tanah Jawa. Dan, oleh karenanya, kau telah mengambil keputusan paling nekat (sekaligus paling cemerlang menurutmu) untuk jadi satu pukulan telak ke jantung keserakahan paling menjijikkan. Kau telah memutuskan untuk merompak setiap kapal pedagang candu di Pelabuhan Singapura.
Dan, tentu saja, kau telah bertekad merompak kapal Wu Li—pedagang candu terbesar di bawah kuasa gubernur jenderal Kerajaan Inggris di Hongkong. Lalu, masih dalam kemabukan gemilang rencana perompakan nekatmu, kelak kau akan melemparkan semua candu hasil rampasanmu ke laut, semuanya, dan membiarkan kapal pengangkut candu itu terapung seperti bangkai undan di Selat Malaka. Lalu, tentu saja, kau akan mengiris satu demi satu hidung para kelasi kapal Wu Li dan merangkainya jadi kalung besar yang kaugantung di ujung pagar depan kapal layarmu. Kau telah bertekad untuk mewujudkan hinaan para opas kompeni itu menjadi kenyataan.
8. KEMATIAN VASCO TRANA, SANG NATURALIS
Saya hikmati tangga nada terakhir simponi Beethoven nomor 9, saya terpana menatap sebingkai lukisan abad pertengahan, saya membaca seuntai soneta yang memilukan, saya menulis prosa tentang satu spesies bunga beracun yang mampu membunuh kupu-kupu dengan serbuk sarinya, saya berjalan menembus padang ilalang di seberang sepuing huma, mata saya menangkap cahaya matahari hinggap di lengkung embun sewarna cermin, awan-awan yang seperti gumpalan kapas di sayap tempua, jejak-jejak anoa pada jalan setapak berlumpur di tepi hutan, dan, pagi ini, saya melihat bulan seperti pipi halus seorang dara… **)
Itu adalah kalimat terakhir, di halaman terakhir, pada catatan harian Vasco Trana, seorang naturalis Portugis yang terpikat menyusuri aneka flora sepanjang garis khayali Alfred Wallace, tertanggal 15 Juni 1899. Sebulan setelah itu ia menghilang dan tak pernah kembali. Menurut laporan resmi polisi Hindia Belanda tertanggal 16 September 1899, yang patut diragukan kebenarannya, sang naturalis mendadak lenyap setelah bertekad memburu dua spesies anggrek hitam yang hanya tumbuh pada satu punggung gunung berapi di Sulawesi.
Tersentak membaca catatan harian puitis Vasco Trana, setahun sebelum Albert Einstein menerbitkan teori foton yang ganjil di jurnal Annalen der Phsyik, saya menduga naturalis Portugis itu tergolong ilmuwan penyuka puisi-puisi romantis seperti Charles Darwin. Menurut saya nyaris tak ada naturalis Eropa pada saat ini yang memiliki kepekaan estetik setara Vasco Trana ketika melihat fenomena alam. Atau, bisa jadi, mereka kini terlalu sibuk mengejar paten ribuan obat herbal yang harganya tak bakal terjangkau sekedar tiga puluh sen upah harian kuli-kuli kontrak onderneming di Jawa. Para kuli itu lebih suka menghabiskan separuh upahnya untuk membeli candu.
Pada suatu siang yang panas dua tahun lalu, sambil memandang lengkung ombak membuih di pantai, saya membayangkan Vasco Trana duduk meringkuk pada satu pojok penjara pemerintah kolonial Belanda di Makassar. Hal yang membuatnya benar-benar tersiksa, bukan sebab ia mesti bernapas sebui dengan maling lada dan begal pala, tetapi karena ia tak memiliki kertas dan pena untuk menuliskan catatan hariannya.
Saya berpikir, seperti setoreh luka lama dalam konflik perdagangan rempah di Tarnate dan Tidore, pemerintah kolonial Belanda menganggap temuan-temuan Vasco Trana dalam bidang flora bisa jadi berbahaya bila jatuh ke perusahaan-perusahaan obat dari Portugis dan Inggris, yang, tanpa wasangka berlebih, telah tersohor seantero Eropa sebagai pemangsa rente paling ganas dan hanya mampu disaingi oleh hiu-hiu kelaparan dari Laut Merah. Maka, dengan rasionalisasi selicin lendir di kulit sidat, dibuatlah sebendel laporan resmi yang luar biasa komprehensif, sekaligus dibumbui sedikit cerita-cerita gaib. Di dalam laporan rahasia polisi kolonial Belanda itu terungkap Vasco Trana diculik atas perintah seorang kepala suku tak dikenal yang hobi mengunyah biji mata musuhnya.
Kisah tentang hilangnya Vasco Trana pertama kali saya dengar dari Daeng Parewa, sahabat sekaligus pemilik rumah tempat Vasco Trana tinggal selama lima tahun di Makassar. Waktu itu saya tengah mengadakan penelitian tentang beberapa spesies mamalia langka di Sulawesi. Awalnya, di tengah kesibukan saya sebagai seorang naturalis Inggris yang teracuni secara ketat oleh metode ilmiah, saya tertarik untuk secara dingin dan objektif melakukan semacam penyelidikan independen guna mengungkap fakta tersembunyi di balik hilangnya Vasco Trana. Meski penyelidikan itu sebenarnya saya lakukan sebagai selingan belaka. Selanjutnya, setelah saya membaca laporan resmi yang cukup menggelikan dari polisi kolonial Belanda, serta mengumpulkan kesaksian berbagai pihak, saya justru tertarik menuliskan temuan saya terkait hilangnya, atau lebih tepat penghilangan, Vasco Trana dalam suatu cerita detektif bergaya novel “The Notting Hill Mystery” karya Charles Felix.
Oleh karenanya, bersama surat ini, saya kirimkan kepadamu naskah novel “Kematian Vasco Trana, Sang Naturalis” untuk diterbitkan. Dengan beberapa pertimbangan, yang jelas demi keselamatan saya sendiri, saya menyamarkan nama-nama tokoh dalam novel itu (termasuk nama asli Vasco Trana). Saya percaya kepadamu, sebagai seorang editor dari penerbit yang cukup berwibawa di London, akan menjaga identitas saya dan fakta sebenarnya di balik penyiksaan keji sang naturalis Portugis, Vasco Trana, di dalam penjara benteng Fort Rotterdam di Makassar.
_________
**) Kutipan ini bersumber dari surat seorang naturalis Inggris Mr. Edward B. Illiad yang ditujukan kepada kepada Mrs. Ellis Henderson, seorang editor magang dari satu penerbit novel detektif yang cukup ternama di London, tertanggal 26 September 1907.
9. THE SCARY DAYS
Cing Xiu, pembuat guci penyimpan abu jenazah keluarga, percaya Batavia akan jadi tungku pembakaran mayatnya. Kadang sejarah tak peduli pada harmoni, pada Yin-Yang, pada gerak air dalam gentong tanah teraduk jurus Tai Chi Cuan; dan pada pertengahan abad ke-18 ramalan Cing Xiu pun terwujud. Pemberontakan Kampung Cina dipadamkan tentara kompeni dengan api. Tubuh Cing Xiu ditemukan hangus memeluk sebuah guci.
Tiga abad telah berlalu, takdir keturunan Cing Xiu bertukar tangkap dengan lepas, hingga seorang Cing Xiu yang lain mendadak memutuskan siklus ramalan terkutuk itu. Begitulah, sebelum berita Agresi Militer Belanda yang kedua menyulut perlawanan koran-koran pergerakan di Jawa, untuk pertama kalinya Cing Xiu mendengar tentang kisah terkutuk nama moyangnya langsung dari bibir bergetar ayahnya—yang juga bernama Cing Xiu. “Jika setiap nama orang di muka bumi ini diperkenankan punya sejarah,” kata ayahnya, “tentulah aku tak sudi berakhir hangus di dalam tungku raksasa pembakaran tembikar.” Jadi, wajar saja, bila kini ia putuskan bahwa sejarah terkutuk nama moyangnya itu, dengan sikap paling pragmatik dari seorang pedagang elektronik, tiada lain sekedar mitos penghibur rasa tertekan ayahnya—mantan wartawan koran pergerakan, pejuang kesepian yang diabaikan secara sistematis oleh aib kepentingan para penguasa. “Kita ini orang Cina,” kata ayahnya, “dan orang Cina berarti bukan orang.”
Suatu pagi, beberapa tahun lalu, selembar surat sedih dilayangkan melintasi benua: “Mei 1998, aku tak ingat tanggalnya dan memang tak akan sudi kuingat lagi. Saat itu aku berusia dua belas tahun, ayahku dan kakekku tengah bersembunyi di dalam satu rumah-toko yang dikunci dari luar oleh puluhan penjarah gila. Pengepungan itu dipimpin beberapa lelaki bersurban sambil menyeru-nyeru nama Tuhan yang, bahkan, akan membuat sekawanan badak ketakutan. Ayahku, seperti setiap ayah yang bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anaknya, bermaksud sebisa-bisa melindungi urat nadi usaha keluarga. Namun, ramalan maut sang pembuat guci memang mesti digenapi. Kakekku dan ayahku (yang juga bernama Xing Ciu) tewas terkurung di lantai dua rumah-toko milik kami. Menurut laporan polisi yang kudengar dari ibuku (pada saat pembakaran keji itu terjadi, aku dan ibuku telah lebih dulu mengungsi ke Batam), mayat ayahku dan kakekku ditemukan meringkuk dengan tubuh hangus mengenaskan.”
Sendiri memasuki gerbang suwung dini hari, setelah bertahun-tahun terbenam dalam kuala kenangan, pelan-pelan saya tulis ulang tiga bagian kesaksian sahabat saya itu, Cing Xiu, seorang penyair kelahiran Semarang yang terpengaruh puisi-puisi Edgar Allan Poe. Kini ia tinggal bersama ibunya di Portland, di satu kawasan perbukitan yang menghadap ke pantai. Saban hari ia suka menyusuri jalan setapak menuju hutan maple, tak jauh dari belakang rumahnya. Bila tiba petang pohon-pohon maple di hutan itu akan disinggahi kawanan gagak. Pada tahun 2008 kumpulan puisi pertamanya terbit dan ia beri judul “Tiga Korban”. Saya berharap, dalam terbitan kedua, ia akan mengubah judul bukunya menjadi “Empat Korban”. Meski, saya tetap merasa yakin, ia tak akan pernah kembali ke tanah moyangnya.
10. PENIS SANG JENDRAL
Mereka panggil aku, “Idiot!” Belum cukup, kadang mereka tambahi dengan gelar fantastis yang diawali kata “sang… “, semacam perpaduan dari simbol-vegetatif-kemiskinan dengan fiksi saintis yang kelewatan, seperti “sang idiot berbau jengkol dari luar angkasa”, atau, “sang idiot yang kencingnya bau pete dari planet mars”. Aku (bukan tak paham makna ejekan tersebut) hanya diam tersenyum di balik topeng idiotku. Dan kini, jenderal tua itu (adalah aku lima puluh tahun kemudian), masih dengan kecerdasan-idiotik masa kanaknya, telah lama membuang jauh-jauh setiap bisikan rasa bersalah ke sudut hatinya, dan, dengan pikiran sedingin dinding es di kutub selatan, ia tanpa sungkan memanipulasi amuk massa paling absurd sebagai kewajiban nasionalisme tanpa cela.
“Bahkan, jika kalian mesti membantai dua juta nyawa rakyat di negeri ini, jangan pernah merasa bersalah. Sebab kita sedang melindungi masa depan bangsa dari gerombolan para bajingan tanpa Tuhan,” katanya suatu malam dalam rapat terbatas para jenderal yang ia anggap paling setia—jenderal-jenderal yang akan menjalankan perintahnya tanpa bertanya. Bahkan andai ia menyuruh memotong penis mereka sekalipun, mereka akan dengan tulus ikhlas melakukannya, sebab mereka percaya pada doktrin nasionalisme tanpa cela untuk melindungi masa depan bangsa, dan, tentu saja mereka akan merasa sangat dihormati bila penis-penis mereka dikuburkan di taman makam pahlawan dengan suatu upacara militer.
Namun, tentu saja, dengan kesadaran yang sesadar-sadarnya, ia memang tak akan pernah memerintahkan kedua tangannya memotong penisnya sendiri. Ia menganggap perintah potong penis itu hanya rasional, sekali lagi hanya rasional, jika dan hanya jika dilakukan kepada selain dirinya. Sebab, ia adalah sang pelindung masa depan bangsa. Sungguh tidak lucu, pikirnya, jika sang pelindung masa depan bangsa mendadak berpidato tanpa penis.
11. KAKEKNYA
Semarang, 1927. Tepat tiga hari setelah Chiang Kai Sek menggorok leher kaum komunis di Cina, kakeknya yang bertulang punggung tegap laiknya Homo Soloensis, nekat mendaftar jadi anggota Partai Komunis Indonesia (di bawah pimpinan utusan rahasia Komintern, Paul Mussotte), di kota Semarang.
Kenekatan kakeknya menjadi anggota PKI, partai yang baru setahun berdiri serta gagal total melakukan pemberontakan di Jawa dan Sumatera, awalnya dilandasi semacam rasa dendam yang aneh, karena istrinya—juga sawahnya—telah dirampas oleh seorang meneer Belanda. Sentot Kidri, kakeknya itu, yang konon masih segaris keturunan dengan Panglima Sentot Alibasya dalam perang Diponegoro, mulanya hanyalah seorang tuan tanah yang santun. Laiknya para priyayi level menengah di Jawa ia pun memiliki dua puluh bidang sawah. Namun, setelah pemerintah kolonial Belanda memaksa para petani dan tuan tanah untuk menanam tebu, Sentot Kidri menolak dan memutuskan menjadi aktivis kiri radikal.
Bersama deru kereta uap pengangkut batang tebu, simbol industrialisasi pertama di Jawa guna memuaskan hasrat para meneer akan rasa manis, maka lidah kakeknya yang kerap diserang rasa pahit secara fantastik bertransformasi menjadi lidah api. Kemudian, dari bintik-bintik di ujung lidah api itulah muncul titik-titik api yang menyimpan percik paling panas di bawahnya, yang kelak tanpa ampun akan membakar ladang-ladang tebu milik Ratu Wilhelmina di selatan Kota Semarang.
Muasal lidah api itu tidaklah muncul secara tiba-tiba, tetapi hasil proses penggodokan sistematis dari kursus politik di partainya. Setelah Sentot Kidri mendaftar menjadi anggota PKI di Semarang, dimulailah hari-hari padat jadwal kursus politik yang dilakukan sembunyi-sembunyi, hari-hari baru yang penuh gairah intelektual Eropa. “Fajar baru akan terbit di tanah Hindia ini, Sentot!” Itulah kalimat pertama yang didengarnya dari Semaun, mentor politiknya, seorang aktivis buruh kereta api yang pernah menjadi Ketua Committee Central PKI.
Selanjutnya, hari-hari Sentot Kadri diisi dengan tembakan-tembakan senapan yang meletus dari ujung mata penanya. Ia menjadi wartawan Koran Serikat Merah, koran partai yang selalu menggelorakan perlawanan terhadap kolonialisme: Boeroeh Kereta Api Moesti Mogok! — Boeroeh Tani Keboen Teboe Djangan Maoe Coema Djadi Kebo Belanda! — Ganjang Itoe Kaoem Bordjoeis Djawa Antek Kolonial! — Kita Orang Boekan Anjing Para Meneer! — Djalan Baroe, Mari Bebareng Bergerak! Begitulah, hanya dalam waktu lima bulan, Sentot Kidri telah melahirkan puluhan tulisan penuh aroma kebencian terhadap borjuasi dan kolonialisme di tanah Jawa. Hingga suatu kejadian, yang bermula dari satu pancuran bambu, membuatnya mengamuk bagai banteng terluka dan membakar ladang-ladang tebu pemerintah kolonial Belanda. Ia pun ditangkap dengan dua rusuk patah dan satu codet di keningnya.
Semua kejadian itu bermula ketika Sentot Kidri mendapat penugasan khusus melakukan pengorganisasian buruh tani perkebunan tebu di Dusun Sekaten (percayalah, kau tak akan menemukan dusun ini sebagai titik hitam pada peta di pulau Jawa, karena yang tersisa kini hanyalah ladang-ladang tebu, tepatnya bekas ladang-ladang tebu), di selatan Kota Semarang. Suatu penugasan pengorganisasian massa pertama yang ia terima dengan suka cita dari ketua partai, Paul Mussotte, yang juga salah satu mentor politik paling dikaguminya. Penugasan itu jelas bukanlah penugasan konyol, apalagi setelah pencidukan besar-besaran para aktivis politik akibat kegagalan pemberontakan PKI tahun 1926, karena sang ketua partai dengan kematangan pikiran hasil pertobatan ideologisnya di Moskow, telah merancangkan satu penugasan rahasia bagi Sentot Kidri dengan kamuflase peliputan berita Koran Serikat Merah.
Hal yang sama sekali tak diduganya dalam penugasan revolusioner itu adalah guyuran air-cinta yang luar biasa sejuk, mengalir dari pancuran bambu, menyentuh cahaya fajar pertama yang menyusup dari celah daun-daun akasia, dan memercik ke jantungnya. Lalu dapat kaubayangkan bagaimana aktivis kiri radikal itu tiarap ke tanah, mengendap di balik semak, menatap kemurnian tubuh sintal seorang gadis remaja di antara suara ricik pancuran bambu. Itulah tatapan aneh yang membuat Joko Tarub tega mencuri selendang seorang bidadari yang tengah mandi di sebuah telaga. Dan kini ia seolah menjadi Joko Tarub yang lain, di bawah air terjun yang lain, yang lebih kecil, tetapi dengan tingkat keterpanaan yang sama dahsyatnya. Lalu, suara terpekik itu! Jeritan terkejut gadis sintal berkulit sawo matang itu meluncur begitu murni dari tenggorokannya, membuat nada-nada pentatonis menari-nari di antara pita suaranya: Siapa di situ? Siapa sembunyi di semak-semak itu?
Kali ini, dengan keberanian genetik khas Panglima Perang Sentot Alibasya, bangkit berdirilah Sentot Kidri dari balik semak, memancarkan seringai khas macan akar, lantas berkata dengan suara agak berat: Maaf, saya tidak tahu kalau ada yang sedang mandi di sini.
“Apa kamu tidak tahu di sini bukan tempat mandi laki-laki?” bentak gadis itu. “Tempat mandi kamu di sana, di bawah pohon jati itu.”
Joko Tarub Dadakan, yang tak menyangka akan mendapatkan jawaban polos seberani itu, terbata menjawab: Maaf, saya keponakan Pak Dali. Saya baru kemarin malam datang dari Kota Semarang.
Dengan berkacak pinggang bidadari pancuran bambu itu berkata: “O, keponakan Mbah Dali. Ya sudah, cepat pergi sana, sebentar lagi ibu-ibu akan mencuci baju di sini!”
Joko Tarub Dadakan yang sepenuhnya telah kikuk merespon dengan gagap seperti seekor anjing kampung yang baru saja ditimpuk: Maaf, maaf, maaf.
Sekilas ia masih sempat menoleh ke belakang, menatap wajah oval kedondong bidadari pancuran bambu dengan sudut matanya, sebelum ia tersandung akar pohon entah apa (Sial! umpatnya dalam hati) dan membuat tawa berderai gadis sintal itu menderas bersama aliran sungai kecil di tepi hutan kecil. Kini Joko Tarub Dadakan merasa pasti ia telah jatuh cinta untuk kedua kalinya.
Namun, beginilah akhir dari kisah itu: gadis pancuran bambu, kekasih revolusioner Joko Tarub Dadakan, tewas setelah diperkosa dengan keji oleh empat serdadu pribumi Kerajaan Belanda. Dan, masih dalam nuansa politik etis, Joko Tarub Dadakan akhirnya dihukum kerja paksa dan dipenjara, sebagai konsekuensi atas tindakan kalapnya membakari ladang-ladang tebu di selatan Kota Semarang. Begitulah, tiga tahun kemudian, Sentot Kidri mati di penjara dengan tubuh kurus kering. Mayatnya dilempar ke jurang bagai bangkai anjing.
12. PARA PEMAKAN BANGKAI
30.000 tahun setelah para pemakan bangkai itu meninggalkan gua-gua, mereka masih juga tertipu oleh yang-bukan-rahasia.
_____________________
*) Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandarlampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi “Perawi Tanpa Rumah” (2013), “Sabda Ruang” (2015), “Hara Semua Kata” (2018) “Perawi Tanpa Rumah (Edisi revisi, 2018), “Perawi Rempah” (5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018).
Puisi berasal dari bahasa Yunani, Poiein (buat/making) dengan tambahan -is (aktivitas) di belakangnya. Poiein+is, Poiesis (aktivitas membuat ulang). Kata ini digunakan dalam banyak konteks yang tak hanya pada pekerjaan seni atau lebih khusus seni berbahasa; pada kerja manufaktur hingga dalam penerapan ilmu kedokteran. Contoh yang paling sering saya bawa misalnya pada kata Hematopoiesis (proses natural pembuatan ulang darah: proses pengembangan darah di dalam tubuh yang melibatkan pembelahan hingga diferensiasi kefungsian sel). Akan tetapi, dalam hal ini baiklah kita batasi saja pada kegiatan seni membentuk ulang bahasa, yangmana, para pemikir Yunani ...
This will close in 0 seconds