1. FANTASI?
Dunia begini tertib, begini teratur—semua sudah dirancang. Tubuhmu, terlebih pikiranmu (betapa pun bebas kau merasa bisa menentukan pilihan), tetap tak bisa keluar dari rancangan para pembuat “selera” itu. Malangnya, serupa Syshipus yang berfantasi sedang menggelindingkan sebutir apel merah, kau berpikir semua akan baik-baik saja dan, sungguh ironi, kau berupaya tetap merasa bahagia.
2. HAMLET
Kita, segerombolan massa yang terhegemoni itu, hidup dalam dunia maya, dunia ambang, antara nyata dan tak nyata. Hamlet, tokoh drama tragis dalam pikiran Sheakspeare, berkata: “To be or not to be.” Begitulah ia sang peragu itu, karakter yang hidup dalam dunia ambang, pula, sadar atau tanpa sadar, menciptakan tragedi paling ironik bagi dirinya. Hamlet, kita ini, hanyalah tokoh parodi yang mungkin tak lagi terlalu menyedihkan hati.
3. EUFEMISME
Eufemisme adalah satu gaya bahasa, semacam pelembutan kata yang, tanpa terasa, akan membuatmu terlena. Kesantunan itulah nama ilusifnya. Seolah masuk ke rumah aman, kau akan dibuat lupa pada fakta ketidakadilan paling memuakkan yang tersaji dengan halus di depan batang hidungmu. Para tiran yang paling licik selalu tahu bagaimana bersikap santun hingga mematikan daya kritis rakyatnya. Eufemisme, maafkan saya, hanya kata lain dari hegemoni berbahasa.
4. MISTERI
Sebagian besar kita mungkin gemetar ketika misteri dalam pikiran kita tiba-tiba hilang. Kita merasa hampa, tak tahu lagi harus bersandar pada apa.
Namun, bisakah kita sejenak duduk di depan jendela, melihat (benar-benar melihat) tanpa dinodai kenangan: titik-titik hujan menerpa kuntum-kuntum bunga seruni di halaman.
Tidakkah ada keajaiban yang tak terkatakan pada yang sehari-hari, yang teramat biasa, di sana; yang selama ini mungkin selalu luput untuk kita temukan, karena pikiran kita terlalu sibuk mencari-cari yang paling misteri, yang ajaib itu, dan menolak untuk berhenti sejenak melihat yang benar-benar nyata di sekeliling kita?
Namun, malangnya, kita telah begitu lama menutup mata.
5. MATINYA DRAMAWAN KOMEDI
Tartuffe, nama satu tokoh utama dalam drama komedi hitam, merasa dirinya suci. Dan berbekal akrobat lidah musim panas, ia pun silap merayu putri Orgon. Lompat ke Prancis tahun 1673, sebelum salju pertama gugur, saat Moliere mati di panggung drama, tiga pendeta yang terhina komedi-kafir itu menolak penguburan sang dramawan di permakaman umum. Andai tiada drama komedi di muka bumi, saya yakin, Moliere tetap akan menolak sakramen kematian Tartuffe.
6. PENULISAN SEJARAH PARA KAISAR CINA
Para penulis sejarah kekaisaran Cina lebih mirip pungguk merindukan bulan. Misal, setelah Kaisar Zhou digulingkan beredarlah versi resmi kekejaman sang kaisar: membangun istana di satu bukit dengan membunuh 10.000 pekerja, menguliti pembangkang dan menyiramnya dengan air garam, serta tak lupa meracun seluruh pangeran agar gaib segala potensi kudeta. Penulisan resmi sejarah fiktif itu terus berulang dari kaisar ke kaisar.
7. DUA ALEXANDER
Ada masa Alexander Agung serupa Iskandar Zulkarnaen—hingga para pencatat sejarah pada masa lalu membelah riwayatnya menjadi dua pribadi: satu nyata, lain fiksi. Frustrasi lantaran pacar homo kesayangannya, Hefaistion, mati diracun selir Persianya, malam-malam berandalan tiga puluh tiga tahun itu layu di pesta minum. Setahun kemudian, hati penakluk dari Macedonia itu beku di peti emas; bau rempah balsem mayatnya terembus dari satu kereta-perak yang ditarik lamban oleh enam puluh ekor keledai.
8. JOSHUA
Pemuda usia tiga puluhan itu merasa sangat diberkati. Ia teramat yakin hidupnya telah menanggung beban nubuat para raja berabad lalu. Namun, seorang ibu sungguh paham betapa munafik dan terasingnya kehidupan di dunia ini, “Pulanglah putraku. Carilah kembali kerajaan surga di bawah telapak kakimu sendiri.” Sang putra, yang hatinya seolah segumpal es, hanya dingin berkata, “Bundaku kini tak lain dua belas orang pengabdi.” Dan sang putra pun berlalu. Gigil air mata seorang ibu, membayangkan putranya akan tersalib di bukit batu.
9. PARA TERORIS DI SAMARKAND
Para penguasa di Samarkand selalu licin menggunakan dongeng-dongeng pembangkit iman, dipadu dengan ekstase surgawi dari serbuk getah bunga poppy (jika kau ingin tahu nama Latinnya, sebut ia: Papaver Somniferum), untuk menyembunyikan ketamakan dan kekejian mereka. Di dalam benteng yang kokohnya melebihi benteng istana khalifah dan tersembunyi dengan aman di atas bukit batu, Hassan Sabbah, imam sekte para pembunuh, mulai menyusupkan ekstase surgawi getah bunga poppy bagi “pasukan pengantin” paling keji di bawah kuasanya.
10. TIGA PENGAKUAN
(Satu)
Pada suatu senja yang lamur, di bawah rimbun sebatang pohon cedar, merayaplah satu mahluk bersisik paling hitam yang, laiknya penghasut pertama, mendesis dan menjulurkan lidah bercabangnya dari balik semak. Lamat-lamat bayang mahluk itu mulai memanjang ke taman belakang satu rumah. Lalu, dari balik jendela lengkung khas Kota Baghdad sepasang mata hitam Muhammad Ibnu Ishaq, juru tulis Khalifah Al-Manshur yang agung, terantuk suasana senja sebelum ia mencatat satu pengakuan mengerikan berikut ini:
“Tak ada yang lebih pasti dan lebih culas menyingkap segala kebohongan paling tersembunyi selain maut. Kau bisa mendaku dirimu nabi, atau dewi air yang menenggelamkan rahasia perbendaharaan 27 perpustakaan di Mesir, atau pencipta 30 huruf yang menjisimkan jagad raya di balik tirai abadinya, sebelum hal itu disadari para kosmolog Kreta sebagai tipu daya. Dalam tangan-tangan kekar sang maut, sungguh, kau tak lebih seorang pecundang biasa, seorang juru tulis pendusta yang mencatat kosmogoni Babilonia…”
(Dua)
Tiga bulan kemudian, tepat tiga hari setelah kematian juru tulisku yang paling setia, seorang pencatat paling cemerlang tentang riwayat Muhammad Sang Nabi, aku Abu Jafar Abdullah bin Muhammad Al-Mansur, khalifah pendiri Ibu Kota Perdamaian di Persia, membaca pengakuan tersembunyi juru tulisku itu dengan berurai air mata.
Usai shalat subuh dengan doa paling tulus yang pernah kupanjatkan, yang mampu menguapkan kristal-kristal embun di gurun paling sunyi, kutahan isak di lubuk terdalam hatiku dengan tubuh menggigil. Sekilap cahaya lembut keagungan mengisi satu lubang jarum di dasar tergelap jiwaku, sebelum kuputuskan mengirim para pembunuh paling keji untuk menghabisi seluruh keluarga juru tulisku di tengah malam buta.
15 cucu, 25 anak, dan 4 istri Muhammad Ibnu Ishaq (lengkaplah sudah daftar seluruh keluarga sang penghujah yang tak tertandingi itu), telah kutitahkan atas kuasaku untuk diculik dari rumah-rumah mereka. Tubuh mereka dikuburkan dalam satu liang di tengah gurun. Dan seluruh tubuh itu, semoga Allah mengampuni dosa-dosa mereka, telah dikubur tanpa kepala.
(Tiga)
Tiga hari setelah pembantaian keji seluruh keluarga juru tulis yang malang itu, ketika embun pagi susut lebih cepat, aku istri ke-54 Khalifah Al-Manshur, sekaligus kekasih tercinta juru tulisnya, telah membaca dua pengakuan tersembunyi di meja sang khalifah. Dua pengakuan mengerikan yang ditulis oleh tangan-tangan lembut dua lelaki yang kucintai.
Kini, di tengah merbak aneh lima rumpun mawar Persia, kulontarkan jumrah air mataku hingga pelupukku sembab dan urat nadiku seakan menggigil. Aku tahu, ya, aku tahu Khalifah sengaja menyembunyikan panas api cemburu di tungku hatinya. Aku tahu, dalam setiap untai kata pengakuan puitisnya, mengikuti hujah indah pengakuan juru tulisnya, tersembunyi hidung seekor serigala yang lapar mengendus jejak-jejak seekor domba. Sang Khalifah Al-Manshur telah mencium perselingkuhanku dengan juru tulisnya yang paling setia.
Diam-diam, dengan kecermatan tanpa ampun seorang penjagal gila, ia rencanakan pula penculikan janin dalam rahimku. Betapa mendidih hatiku saat kubaca kata penculikan tersebut. Itulah kata terkeji dalam pengakuan tertulis suamiku. Sungguh Ibu, baru kusadari betapa licin hati suamiku, selicin lendir sisik-sisik ikan di muara sungai Nil. Dan kini, di penghujung pengakuan lisanku ini, duhai, Ruh Ibunda Tercinta, perkenankan kupuja kelembutan lidah juri tulis sang Khalifah. Ijinkan kuresapi kembali bisik-bisik sendu Penjaga Taman-Mawar-Kaum-Majusi di antara derau badai gurun yang mengunci telingaku. Biarlah sekali lagi, dalam teduh bayang sebatang pohon cedar, kukenang kecupan terakhir bibir kekasihku, di sini, di taman belakang sepuing rumah dengan lima rumpun mawar yang telah patah.
Gaibkan aku, Ibu. Gaibkan aku dalam kegelapan sayap-sayap hitam kasihmu, atau jemputlah putri bungsumu ini sebelum para pembunuh keji itu menculik putra terakhir Muhammad Ibnu Ishaq di dalam kandunganku.
________________________
Cerita Mini ©2012 – 2014
________________________
*) Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandarlampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi “Perawi Tanpa Rumah” (2013), “Sabda Ruang” (2015), “Hara Semua Kata” (2018) “Perawi Tanpa Rumah (Edisi revisi, 2018), “Perawi Rempah” (5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018).
Puisi berasal dari bahasa Yunani, Poiein (buat/making) dengan tambahan -is (aktivitas) di belakangnya. Poiein+is, Poiesis (aktivitas membuat ulang). Kata ini digunakan dalam banyak konteks yang tak hanya pada pekerjaan seni atau lebih khusus seni berbahasa; pada kerja manufaktur hingga dalam penerapan ilmu kedokteran. Contoh yang paling sering saya bawa misalnya pada kata Hematopoiesis (proses natural pembuatan ulang darah: proses pengembangan darah di dalam tubuh yang melibatkan pembelahan hingga diferensiasi kefungsian sel). Akan tetapi, dalam hal ini baiklah kita batasi saja pada kegiatan seni membentuk ulang bahasa, yangmana, para pemikir Yunani ...
This will close in 0 seconds