SATU di antara yang penting untuk dibahas dalam kesempatan buku ini, adalah persoalan kesimpang siuran pendapat yang banyak terjadi mengenai apa dan bagaimana karya puisi yang bagus dan yang jelek, hingga perselisihan di antara banyak pegiat puisi dalam menentukan mana yang puisi dan yang bukan puisi yang seringkali hanya bisa diselesaikan dengan saling diam, pura-pura bersepakat satu sama lain seakan-akan telah terjadi kesepahaman meskipun sebenarnya belum ada kejelasan sama sekali atas soal ini, kecuali pokoknya, pokoknya dan pokoknya! Lalu bubar!
Untuk mengakhiri persoalan yang sebenarnya sudah tak relevan lagi diperselisihkan atas mana karya yang bagus dan jelek, maka, di sini penulis hendak menawarkan sebuah paradigma yang lebih berguna untuk digunakan. Yaitu, dengan menggunakan kacamata kreativitas. Yangmana, sebuah karya, dikatakan sebagai karya puisi yang berhasil atau tidak berhasil, bukan lagi diukur berdasarkan kategori indah atau tidak indahnya, bukan dari kategori estetik atau tidak estetiknya, yang kerterianya akan bisa sangat subjektif. Mengapa demikian? Sebab, setidaknya ada dua alasan yang bisa dimajukan di sini sebagai dasar yang cukup untuk kita pegang.
Pertama, berbeda dengan kategori indah-tak indah juga estetik-tak estetik, kreativitas adalah sesuatu yang ukurannya bisa kita tangkap secara objektif. Penjelasannya demikian.
Di dalam bahasa Yunani, kata estetik berasal dari kata Aesthesis yang artinya kurang lebih adalah perasaan tergugah akan sesuatu setelah mempersepsinya secara indrawi–dalam konteks ini akan sebuah karya seni. Sesuatu dikatakan sebagai karya yang estetik, jika karya tersebut berhasil menggugah pendengar atau penontonnya. Soalnya adalah, sebab bertumpu pada persepsi sekaligus sensasi yang timbul setelahnya, apa yang disebut dengan karya yang estetik pun akhirnya jadi begitu subjektif, yangmana, ujung-ujungnya hal ini tak akan bisa diperdebatkan secara ketat terlebih menjadi dasar bagi sebuah penelitian yang lebih objektif akan sesuatu. Oleh karenanya, lebih banyak perdebatan seni, pada akhirnya hanya akan bermakna sebagai sebuah perbincangan “sharing perasaan” belaka tanpa bisa diletakkan dasar-dasar keilmiahannya yang lebih baik. Kalaupun kemudian ditambahkan indikator-indikator postif yang menyertainya, maka itu akan tetap dikembalikan kepada perasaan terdalam yang dirasakan penikmat yang tak jelas ukurannya; kalaupun ada Baumgharten yang coba meletakkan dasar estetika yang lebih objektif di awal abad modern, tradisi ini tergempur oleh tradisi Schopenhauer mengenai adanya kesertaan perasaan dan emosi yang kuat dari seorang seniman; kita yang menerima alir tradisi Timur, jelas lebih banyak condong kepada yang terakhir.
Begitu pula ketika kita dihadapkan dengan persoalan yang indah dan yang tak indah. Orang Yunani, Plato misalnya, ketika hendak mengungkapkan apa yang indah, digunakanlah istilah Kallon atau Kallos. Kriteria untuk merujuk Kallos ini adalah kriteria filosofis yang merujuk pada adanya sifat keharmonian (cosmos) pada sebuah realitas fisik. Misalnya, alam semesta dikatakan sebagai sesuatu yang indah oleh Plato, sebab di dalamnya didapati berbagai keharmonian yang terepresentasikan dengan perhitungan atau pengukuran: matematika. Begitulah duduk persoalan yang indah. Yaitu pada adanya unsur harmoni (cosmos). Soalnya adalah, pada peradaban kontemporer, banyak karya seni justru dibuat dengan menekankan aspek chaos (keacakan) ketimbang cosmos (keteraturan). Yang artinya, persoalan filosofis akan yang indah pun, pada akhirnya tak monophonic (ada suara lain), hingga kembali ada selera lain (estetika lain) untuk mengatakan sesuatu sebagai yang indah. Bisa kita perhatikan dari arah gerakan seni Avantgarde di awal abad 20 yang bergerak dibawah pengaruh Psikoanalisa. Hal ini, dikuatkan dengan penemuan teori kuantum dalam Ilmu Fisika yang kian hari kian dipertimbangkan konsekuensi chaotiknya sepanjang abad 20; seperti yang turun kepada Deleuze dan Gauttari.
Dalam konteks perpuisian Indonesia belakangan, ketidakrelevanan akan perbincangan bagus-jelek, indah tak indah misalnya, ditandai dengan anti-klimaksnya sebuah inisiasi Festival Puisi Jelek di Instagram oleh Afrizal Malna yang tak mendapatkan animo dari publik sastra luas. Sehingga, tak terjadi perbincangan yang menarik dan signifikan setelahnya. Lebih dari itu, bahkan Afrizal sendiri nampak tak benar-benar serius untuk mengusung agenda yang ia inisiasi. Dalam sebuah wawancara khusus di kanal Youtube soal Festival Puisi Jelek ini, ia menyatakan bahwa memang di sisi lain kita (maksudnya Afrizal) hendak coba melawan satu dominasi selera tertentu atas apa dan bagaimana puisi yang dianggap bagus oleh sejumlah kelompok (yang begitu-begitu saja kriterianya), akan tetapi juga menjadi aneh jika ini justru akan menjadi satu bentuk ekslusivitas lainnya. Padahal, tujuannya (konon) tidak demikian.
Meskipun tidak bermaksud untuk mengasosiasikan secara duplikatif pemberontakan dikotomis ala gerakan seni Avantgarde awal abad 20, menurut penulis, kenyataan anti-klimaks tersebut sangat disayangkan. Padahal, ketika kita tengok 5 Zine yang dihasilkan dari festival tersebut, kita patutnya bergembira sebab berisi sejumlah karya yang cukup relate dengan perkembangan zaman yang makin menekankan semangat kreatif yang multi media–khususnya dalam metode representasinya. Namun, sebab dalam penyelenggaraannya tidak muncul sebuah tawaran konsep yang lebih terarah apalagi untuk menggeser paradigma dalam perbincangan kesenian, maka wajar jika yang terjadi adalah demikian: Festival Puisi Jelek masih belum bisa lolos dari tarikan lumpur dikotomi lama mengenai apa yang bagus dan yang jelek. Akan berbeda, seandainya, Afrizal menawarkan satu paradigma yang baru.
Kita sendiri, andai paradigma kita di sini telah berubah dalam menilai perpuisian yang ada khususnya dengan kacamata kreativitas, kita sesungguhnya telah melewati persoalan dikotomi tersebut. Kita bisa menilai dengan cara yang lebih baik. Kita bisa menilai dengan lebih jernih bagaimana seorang penggubah karya puisi mampu mengolah ulang bahan-bahan dasar yang digunakannya dalam sebuah konteks wacana estetik tertentu yang hendak dimajukan. Misal, A mengarahkan karyanya ke dalam konteks yang cosmos, B mengarahkan konteks karyanya dalam kontkes wacana estetik yang chaos, atau bahkan C membawanya kepada wacana chaosmos yang juga menjadi ciri dari banyak metode berkesian terkini. Dengan paradigma yang demikian, kita pada akhirnya tidak perlu lagi berdebat akan sesuatu yang tak perlu di dalam rangka penilaian sebuah karya (kecuali memang untuk kepentingan bertukar emosi dan sensasi ketergugahan). Kita, bisa melihat sebuah karya dalam komposisi objektifnya sebagai sesuatu yang dikerjakan dalam konteks wacana sekaligus kompleks keterampilan tertentu yang mengikutinya–tanpa mencederai makna dasar dari Aesthesis sebagaimana dilakukan oleh Baumgharten ketika meredefinisikannya.
Lebih jauh, dengan paradigma yang demikian, kita bisa mengukur dengan lebih objektif berbagai usaha eksperimentasi yang dilakukan oleh setiap pemuisi atas bahan dasar yang ia pilih; sejauh mana seorang pemuisi bisa mengolah dan membuat kompleks bahan-bahan yang ia gunakan. Dengan paradigma yang demikian pula, kita bisa melihat dengan lebih objektif kemungkinan akan adanya unsur-unsur inovasi hingga invensi yang hendak dicapai oleh seorang pemuisi, dalam rangkaian sejarah perpuisian tertentu. Misal, dalam lingkup sejarah perpuisian dalam negeri, daerah, hingga dunia. Yangmana, kreativitas adalah bagaimana kemampuan kita memandang dengan lebih cermat akan wujud dari segala sesuatu melebihi yang lain dalam melihatnya, sekaligus kemampuan dalam memproyeksikannya kemungkinan-kemungkinan wujud yang belum pernah ada sebelumnya melebihi dari apa yang dibayangkan yang lain. Dengan ini, maka kreativitas bukanlah sebuah kemampuan pikiran dan tindakan yang hanya berlandaskan hayalan/imajinasi kosong. Ia adalah sesuatu yang paska filsafat, yang berdiri di atas sains.
Dari itu semua, maka di sini kita sampai pada poin Kedua untuk mendudukkan kembali mengapa dasar yang demikian cukup kokoh untuk digunakan. Sebab, kata puisi sendiri, yang asalnya adalah Poiesis, adalah sebuah kata yang memang digunakan sebagai kata Kreatif di zamannya. Dengan kata lain, bohong jika seorang pemuisi mengaku telah berpuisi jika ia miskin kreativitas dalam mengolah bahan dasarnya; akan percuma jika ia berniat menjadi seorang pemuisi yang unggul jika hanya melulu menggunakan rangkaian paket kata, model perumpamaan, gaya, pola-pola, metode-metode yang sudah tersedia dan menjadi klise tanpa usaha menyegarkannya. Dengan kata lain, usaha berpuisi kita hakikatnya telah gagal, jika yang dilakukan adalah hanya menggotong sesuatu yang sudah mati tanpa menghidupkannya kembali. ***
______________
Lebih lengkap dijelaskan dalam buku berikut:
Judul : Proses Kreatif & 404 Eror Pikir Pemuisi Pemula
Penulis : Shiny.ane el’poesya
Tahun : 2021
Pemesanan klik : (PESAN)
Puisi berasal dari bahasa Yunani, Poiein (buat/making) dengan tambahan -is (aktivitas) di belakangnya. Poiein+is, Poiesis (aktivitas membuat ulang). Kata ini digunakan dalam banyak konteks yang tak hanya pada pekerjaan seni atau lebih khusus seni berbahasa; pada kerja manufaktur hingga dalam penerapan ilmu kedokteran. Contoh yang paling sering saya bawa misalnya pada kata Hematopoiesis (proses natural pembuatan ulang darah: proses pengembangan darah di dalam tubuh yang melibatkan pembelahan hingga diferensiasi kefungsian sel). Akan tetapi, dalam hal ini baiklah kita batasi saja pada kegiatan seni membentuk ulang bahasa, yangmana, para pemikir Yunani ...
This will close in 0 seconds