Beberapa hari lalu, di grup Poiesis Community & Circle, saya membagikan ulang penggalan tulisan Michael Bugeja dalam “The Art and Craft of Poetry” yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diposting oleh Malkan Junaedi dalam dinding Facebooknya. Saya tetap membagikannya sebagai bahan bacaan, meskipun sebenarnya ada beberapa poin penting yang saya sendiri tak sepakat. Yaitu, dalam penjelasan Michael Bugeja soal Ide dan Epifani yang menjadi inti dari bagian tulisannya itu.
Soal Ide, Michael Bugeja mengatakan, bahwa Ide adalah elemen terpenting dari segala macam hal yang ada dalam puisi ketimbang unsur lainnya seperti: struktur, rima, metrum, baris, atau bahasanya. Namun, Michael Bugeja memberi penegasan, bahwa ide yang ia maksud bukanlah berarti isi atau topik, melainkan sebuh persepsi terhadap dunia yang bisa membuat kita bergairah dalam memandang sesuatu. Baginya, siapapun bisa menulis–misalnya–tentang pohon, namun, banyak juga yang tulisannya berakhir mengenaskan sebab tanpa Ide.
Soal Ide yang disampaikan seperti tersebut, banyaknya saya tak sepakat. Bahwa mengatakan Ide adalah hal terpenting dalam berpuisi, memanglah benar. Akan tetapi, satu kekeliruan jika mengatakan bahwa Ide berarti tidak termasuk di dalamnya struktur, rima, metrum, baris, atau bahasanya. Itu samahalnya dengan mengatakan bahwa Ide adalah hal yang melulu persoalan abstrak–khususnya dalam berkesenian dan berpuisi. Padahal, dalam berpuisi, Ide melingkupi seluruh kerja konkrit dalam berpuisi, yaitu mencakup bagaimana seseorang memikirkan struktur, rima, metrum, baris, bahasanya, bahkan hingga perwujudan secara menyeluruh karya puisi yang hendak dihasilkannya; tipografi hingga sematografinya. Ide, bukanlah hanya soal perspektif. Itu yang paling pertama.
Kedua, ketika Michael Bugeja mengatakan bahwa Ide bukanlah isi atau topik melainkan lebih kepada perspektif, bagi saya, ini satu pernyataan yang justru rancu. Sebabnya, pengertian dasar dari apa yang dimaksud topik sendiri adalah justru sesuatu yang berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang sebuah objek tertentu. Misalnya, bagaimana seseorang dalam memandang sebuah pohon sebagai objek citraan, sebagai makhluk hidup, sebagai suatu yang dikaitkan dengan konteks tertentu, hingga interpretasi lebih lanjut atasnya sehingga melahirkan sebuah makna (lebih jauh filosofi) dalam diskursus puitik yang hendak dibangun. Dalam istilah Yunani, disebut Topos, bagian dari Theoria (pandangan menyeluruh seseorang atas dunianya) dalam pengertian terbatas, seperti yang Michael Bugeja kelirukan sebagai “Ide.”
Kata Ide yang diisyaratkan oleh Michael Bugeja sendiri sebenarnya tak diarahkan dalam pengertian sebagai Idea, sebuah konsepsi filosofis milik Plato yang merujuk pada adanya entitas ke-idea-lan akan sesuatu yang letaknya di luar dunia konkrit sehari-hari. Ia mengisyaratkannya sebagai perkara Theoria. Akan tetapi, yang begitu saja dipisahkan dengan perkara-perkara teknis dalam berpuisi. Padahal, perkara teknis (Yunani, Techne) justru di dalamnya tak bisa dilepaskan dari Theoria. Sebab, setiap pekerjaan teknis pastilah mengandung di dalamnya teori; disadari atau pun tidak. Jika ada orang mengatakan bahwa ia mampu bekerja teknis tanpa teori, bisa dipastikan ia termasuk yang bepengetahuan dangkal dan tak perlu didengar.
Ketiga. Soal Epifani. Michael Bugeja mendudukkan Epifani sebagai Peak of Experience (Pengalaman Puncak). Pada permukaan, ini bisa tak jadi masalah. Namun, jika kita perinci, ini sebaliknya, bisa mejadi riskan dikelirukan. Epifani, bukanlah sebuah Pengalaman Puncak, tetapi dengan Epifani, seseorang (dalam tradisi beragama) akan merasa berada dalam Pengalaman Puncak. Kita harus bisa membedakannya. Lebih jauh, kekeliruan makin sengkarut ketika Michael Bugeja memerincikan soal Epifani dan Pengalaman Puncak itu sendiri; saya kutipkan lengkap sebagai berikut:
“Mari kita definisikan keduanya:
1. Epifani adalah momen kebenaran di mana Anda merasa pikiran Anda menyatu dengan semesta. (Saya pikir apa yang secara keliru kita sebut renungan atau the muse itu sebetulnya adalah epifani yang menggetarkan pikiran kita.) Selama momen itu Anda menyadari sesuatu yang sublim atau menemukan jalan keluar dari masalah genting dalam hidup Anda. Tiap orang pernah mengalami momen seperti ini: Anda bangun jam 3 pagi, terduduk di ranjang dan berkata: ‘Sekarang aku tahu kenapa dia meninggalkanku. Dia tak pernah menginginkan mitra. Dia menginginkan orang tua.’
2. Pengalaman puncak atau peak experience adalah momen kebenaran di mana tubuh Anda seolah menyatu dengan semesta. Seorang atlet lazim merasakan ini setelah memenangkan sebuah pertandingan atau ketika skornya unggul. Banyak orang mengalami momen puncak setelah berhasil dalam sesuatu hal: akhirnya bisa melakukan backflip (koprol ke belakang) atau melakukan gerak tarian yang sulit atau berhasil melewati konflik baik dengan orang lain, binatang, atau bahkan cuaca. Hampir semua dari kita mengalami momen puncak paling klise setelah pertemuan yang romantis, ciuman pertama, atau mungkin hubungan yang lebih intim. Anda bangun jam 3 pagi, terduduk di ranjang dan berkata: ‘Aku tak pernah tahu aku bisa merasa seperti ini!’
Epifani atau pengalaman puncak biasanya menyertai titik tertinggi, terendah, dan titik balik dalam hidup kita. Ketika Anda merenungkan epifani atau pengalaman puncak Anda, tanyakan pada diri Anda apa yang telah Anda pelajari dari masing perjumpaan dengan masalah dan manfaatkan pengalaman Anda untuk mengungkapkan kebenaran menurut tradisi puisi agung.”
Pada kutipan panjang tersebut, Michael Bugeja memerincikan Epifani sebagai (1) Ketika kita merasa Pikiran kita menyatu dengan alam semesta, hingga malalui momen itu, dengannya manusia bisa keluar dari masalah hidupnya (turning point, titik balik–dari titik terendah), dan (2) ketika tubuh kita merasa menyatu dengan alam.
Dari pemerincian tersebut, jelas, bahwa Michael Bugeja tak mempelajari konsep-konsep itu–atau khususnya soal Epifani–dengan benar sebagaimana konsep itu sudah menjadi tradisi besar dalam diskursus baik filosofis, seni, hingga agama. Alih-alih, ia coba menteoritisasikannya secara semena-mena; mirip gejala banyak orang yang menampik teori, tapi dengan mengarang-ngarang berbagai teorinya sendiri secara ngawur.
Epifani, ia adalah istilah Yunani yang merujuk pada pengertian Penampakan. Epi-phanestei, Epi- (ke muka) -phanestei (mewujud). Istilah ini digunakan secara bergantian dengan istilah Theo-phani (Penampakan Dewa); Theo, Theon, Deu, Deus (Dewa), dan -phanestei. Istilah ini amat sangatlah sentral dalam kebudayaan (beragama) orang-orang Yunani. Yangmana, kabar-kabar mengenai Epifani ini sudah ada sejak “Illiad-Odyssey” milik Homerus, juga Theogonia Hesiodos. Athena misalnya, atau Dewa-Dewa lain seringkali muncul dalam mimpi. Bahkan, tak jarang secara langsung turun ke bumi dengan menjelma menjadi hewan (seekor burung, ular, kuda, atau hewan lainnya), hingga sosok-sosok antroposentrik (menyerupai manusia) yang dipenuhi cahaya begitu indah dan mempesona. Atau, Dionisus misalnya, dewa mabuk dan anggur, yang kerap menjelma sebagai sosok yang menebarkan kesenangan yang hadir dalam berbagai pesta. Bayangkan jika konsep Epifani ini tak ada, maka, tak akan ada kebudayaan Yunani yang Agung sebagaimana saat ini kita kenal. Epos Homerus akan jadi cerita politik dan perjalanan yang kering, dan “Theogonia ” Hesiodos akan jadi sekumpulan mitos yang tak menginspirasikan banyak penciptaan.
Dalam tradisi agama Nasrani, Epifani ini dikaitkan dengan berbagai penjelmaan Yesus ke dalam berbagai mimpi para penganutnya. Lebih jauh dari itu, Yesus sendiri merupakan Epifani dari Allah itu sendiri sepanjang hidupnya. Dalam tradisi agama Islam, Epifani Allah dilambangkan dengan “Cahaya yang Tinggi” yang memancar di seluruh alam semesta sebagaimana tercetus dalam Qur’an surat Annur (Cahaya) ayat 35. Alam semesta, Sang Nabi Muhammad khususnya, hingga manusia pada umumnya, terpacar oleh Cahaya tersebut dalam tingkatnya masing-masing. “Allah adalah Cahaya langit dan bumi. Perumpamaannya seperti sebuah misykat yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca yang bersinar-sinar yang sinarnya seperti bintang-bintang dan mutiara.” Dalam tradisi Islam, istilah Epifani ini berpasangan dengan istilah Musyahadah (penyaksian) dan Syahadah, Syahadat (persaksian).
Oleh karenanya, apa yang coba diteoritisasikan oleh Michael Bugeja sebenarnya jauh dari yang semestinya. Perasaan pikiran-dan-tubuh menyatu dengan alam sebagaimana diperincikan, dalam tradisi Yunani, sesungguhnya lebih dekat merujuk pada konsep Enthousiasmos (antusias)–bukan Epifani. Yaitu, perasaan terinspirasi tak hanya pikiran tetapi juga sekaligus kebertubuhan. Istilah ini adalah memang istilah yang dipakai oleh masyarakat Yunani untuk merujuk pada pengertian terinspirasi. Jika pengalaman ini dialami oleh para Pemikir Alam, maka istilah Enthousiasmos bersanding dengan ungkapan Eureka! (Yunani, Heureka!, Aku menemukannya!). Contoh paling terkenal adalah peristiwa pengalaman Archimedes mendapatkan teori yang kemudian jadi hukum volume benda. Jika pengalaman ini dialami oleh para Pelaku Seni, maka istilah Enthousiasmos bersanding dengan istilah Ekstase (Yunani, Ecstasy, di luar kontrol tubuh/trance), atau istilah Daimon-ion (Yunani, Daimon, Demon, Dewa; Daimonion, perasaan bersama Dewa). Socrates, dikisahkan seringkali ditemui mematung sepanjang hari di tengah keramaian Agora tanpa bergerak dan tanpa bicara. Lalu, ketika tersadar selepas sore, ia mengatakan, bahwa sepanjang hari tadi ia mengalami trance, mengalami Daimonion.
Bisa diikuti sampai sini?
Jadi, dari pemerincian kembali itu semua, apa yang disebut Epifani sesungguhnya, sekali lagi, bukanlah serta merta Momen Puncak tanpa Momen Penampakan. Sebaliknya, dengan adanya Epifani (Penampakan) itulah manusia mengalami Momen Puncak. Terlebih, Epifani bukanlah sebagaimana disampaikan oleh Michael Bugeje–dalam bukunya itu–sebagai sekadar “Aha! Momen.” Melainkan, lebih dari itu. Ia adalah sebuah peristiwa yang menyebabkan seseorang mengalami Momen Kebenaran yang derajatnya jauh lebih Agung.
12 November 2021
Shiny.ane el’poesya (11 Juni 1991). Pernah melihat bulan kembar di usia taman kanak-kanak. Pembentuk #SainsPuisi Lab., sainspuisi.com, Poiesis Community & Circle. Penulis buku puisi Kotak Cinta (2017), Sains Puisi (2019), Bidadari Masehi (2020), Sayap Patah (2020), Bid(a)dari (2021), Anggur Kekasih: Setengah Tanka (2021). Bagi saya, Puisi itu tidak hanya aktivitas berurusan dengan kata-kata belaka. Puisi lebih jauh dari itu.
Puisi berasal dari bahasa Yunani, Poiein (buat/making) dengan tambahan -is (aktivitas) di belakangnya. Poiein+is, Poiesis (aktivitas membuat ulang). Kata ini digunakan dalam banyak konteks yang tak hanya pada pekerjaan seni atau lebih khusus seni berbahasa; pada kerja manufaktur hingga dalam penerapan ilmu kedokteran. Contoh yang paling sering saya bawa misalnya pada kata Hematopoiesis (proses natural pembuatan ulang darah: proses pengembangan darah di dalam tubuh yang melibatkan pembelahan hingga diferensiasi kefungsian sel). Akan tetapi, dalam hal ini baiklah kita batasi saja pada kegiatan seni membentuk ulang bahasa, yangmana, para pemikir Yunani ...
This will close in 0 seconds