LOADING

Type to search

Mata Air Nasihat: Sebuah Penelusuran Tradisi Kesusasteraan Amanat

*Tulisan ini dibuat sebagai pengantar buku puisi Bacalah!  karya Pak Abd Samad
Oleh Shiny.ane el’poesya

Jika kita membaca sejarah kesusasteraan Inggris, maka di sana kita akan menemukan bahwa awal mula dari sejarah kesusasteraan Inggris (old English) dimulai oleh karya-karya bercorak epik (kisah kepahlawanan), hagiografi (kisah orang suci), kronik (catatan peristiwa), dan sebagainya. Begitu juga jika kita membaca sejarah kesusasteraan Prancis, maka di sana kita akan menemukan bahwa awal mula dari sejarah kesusasteraan Prancis dimulai oleh karya-karya bercorak epik, hagiografi, kronik dan sebagainya. Pertanyaannya, bagaimana dengan tradisi kesusasteraan di Indonesia (di Nusantara) awal?

Jawabannya, sesungguhnya tak akan jauh berbeda. Ada epos,  hagiografi, juga kronik. Menariknya, jika kita perhatikan temuan penelitian arkeologis yang menandai zaman awal sejarah Nusantara, ketiga genre itu ternyata bisa sekaligus dicerminkan oleh satu set prasasti saja, yaitu Prasasti Kutai. Sebuah prasasti beraksara Palawa, bertiti mangsa 400M,  dianggap tertua setidaknya untuk saat ini, yang dalam penulisannya mengambil bentuk sebagai karya sastra berupa puisi bermetrum sebagaimana umumya terdapat pada karya Sanskrit Klasik.

Namun, selain apa yang telah disinggung tersebut kita seringkali mengesampingkan dua hal penting yang niscaya selalu ada di dalam setiap peri kehidupan masyarakat sekalipun itu masyarakat yang dikatakan primitif. Yaitu, adanya tradisi lisan yang secara umum tumbuh alamiah sebagai bagian dari kebudayaan rakyat banyak, yang dalam konteks ini secara teknis saya masukkan dalam terma (1) natural folklore, juga sejumlah tradisi lisan yang secara khusus menyebar sebab tuntutan dari sesuatu yang berasal dari “luar kehidupan” masyarakatnya yang secara teknis saya masukkan dalam terma (2) religion folklore. Yang kedua muncul lebih akhir daripada yang pertama.




Dalam natural folklore kita akan menemukan sejumlah tradisi lisan yang mencerminkan kehidupan nyata sehari-hari dalam bentuk semacam balada, cerita pelipur lara, fabel, pepatah, juga sejumlah kisah seseorang yang tak jarang bercampur dengan hayalan (sehingga jatuh menjadi legenda), sedangkan dalam religion folklore kita misalnya akan menemukan sejumlah tradisi lisan yang misalnya memunculkan kisah-kisah makhluk superhuman, kisah-kisah makhluk dari alam gaib, kegemaran yang lebih jauh pada hagiografi itu sendiri yang tak jarang juga bercampur dengan kisah-kisah supranatural yang tak terverifikasi (sehingga statusnya seringkali jatuh menjadi mitos), himne, japa-mantra, doa, hingga tradisi berkhutbah yang beriring dengan tradisi pepatah-petitih yang sudah ada sebelumnya. Kedua jenis folklore dengan berbagai ragamnya tersebut sudah terdapat dalam tubuh kebudayaan kita sejak Nusantara belum berada di bawah pengaruh agama besar dan sejenisnya.  Mari kita baca puisi berikut.




Tari andi je tari andai
Kilat pandang je Sumbu Kurung
Gatang rangkah jealun luah
Namiman ulek je hatandipah

Tanjung alun je hamba laun
Tingkah pukul galumbang mayun
Miring kacapi lange iayun
Pai ingatang je kambuluan

(Menarilah adik menarilah
Seperti tarian Sumbu Kurung
Langkah dan gerak lemah gemulai
Bagai pusaran air berdampingan

Berjalan pelan bagai ombak
Bagai irama ayunan ombak
Tangan terayun teriring kecapi
Kaki diangkat terayun-ayun)

Dua bait di atas adalah penggalan dari Karungut yang merupakan salah satu folklore berupa tradisi lisan yang telah hidup lama di tengah suku Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah. Karungut dipercaya oleh suku Dayak Ngaju sudah ada segera setelah manusia pertamakali diturunkan dari langit ke bumi oleh Ranying Hatalla (Tuhan YME). Setelah masa itu, Karungut diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang kepada generasi ke generasi sejak mereka menimang sambil mendendang lagu sebelum tidur. Karungut sendiri berasal dari bahasa Sangiang (Bahasa suku Dayak Kuno) dari kata Karunya, yang artinya nyanyian. Sebagai sebuah tradisi lisan, Karungut lebih kepada sebuah bentuk nyanyian dengan aturan metrum dan perimaan tertentu ketimbang sebuah karya dengan isi yang tetap. Sehingga, dalam penggubahannya Karungut seringkali diwarnai improvisasi hingga terus berkembang; selain banyak digunakan sebagai alat untuk menyampaikan kisah, Karungut juga pada akhirnya dijadikan sebagai alat menyampaikan ajaran. Karungut masih lestari hingga kini, yangmana masyarakat suku Dayak Ngaju telah memeluk agama Hindu disamping tetap mempertahankan kepercayaan Kaharingannya; Hindu-Kaharingan.

Begitulah kira-kira sebuah fragmen singkat mengenai bagaimana kesusasteraan awal di Nusantara kita bisa digambarkan.

**

Istilah Sastra masuk ke dalam kosa-kata kita seiring masuknya pengaruh agama Hindu-Budha ke Nusantara. Oleh karenanya, tak heran jika dalam fase perkembangan ini, pula akan turut berkembang corak kesasteraan sebagaimana tradisi yang telah berkembang di dalam tubuh kebudayaan agama asalnya. Dalam  tradisi Hinduisme, kata sastra (Sanskrit: Shas-tra) sudah begitu banyak digunakan sejak zaman Veda, dengan pengertian Shas- yang berarti ajaran, -tra yang berarti alat penyampai berupa bahasa; lisan maupun tulis. Kata sastra ini sering dibandingkan maknanya dengan kata “sutra” yang secara harfiah berarti tali pengikat. Sebuah kata dengan arti yang sesungguhnya tak berbeda dan berkedudukan makna setara dengan sastra. Hanya, perbedaannya, sutra diwujudkan dalam rupa bahasa yang pendek-pendek (cenderung aforistik), sedangkan kata sastra digunakan sebagai bahasa pengikat yang lebih panjang.

Dalam tradisi Buddhis yang muncul kemudian sebagai deviasi dari Hinduisme, kata sastra tetap digunakan dan kata sutra menjadi identik digunakan sebagai pengikat sekaligus pengungkap pesan yang berasal dari inspirasi spiritual–khususnya ungkapan-ungkapan milik Sidharta kemudian Budha lainnya. Sehingga, statusnya menjadi seperti Veda dalam Hindu, sutra menjadi satu kumpulan ungkapan yang kanonik. Sedangkan kata sastra, diguna-posisikan sebagai sebutan bagi bahasa kedua (tafsir) dari sutra itu sendiri. Perbedaan lainnya, sutra di tangan Buddha Gautama, tak lagi bersifat melulu pendek dan aforistik. Sejumlah sutra yang diujarkannya justru mengambil bentuk naratif dan simbolis.




Masuknya pengaruh kesusasteraan Hindu-Buddha ke Nusantara, pada akhirnya memperkuat satu tradisi kesusasteraan yang berjenis ajaran, yang sebelumnya telah berkembang misalnya yang begitu kuat mengakar melalui tradisi pepatah-petitih, atau bentuk-bentuk sastra nasehat lainnya. Jika kita melakukan penelusuran lebih jauh, maka kita akan menemukan jejak-jejak itu tersebar hampir merata di seluruh wilayah dengan berbagai ragam bentuknya masing-masing. Mari kita baca contoh karya kesusasteraan (di luar kanon utama) yang mewakili pengaruh Hindu-Budha di Nusantara khususnya yang bermuatan ajaran sebagaimana berikut.

1.

He Rama Laksamana anakku nihan renonta.
Narayananca kita Wisnu awakta jati,
Sakweh nikanbhuwana nuni dhinarananta,
Raksan ta yajna mami denta kamiki ayajna.

(Hei anakku Rama, Laksamana,dengarkanlah.
Kamu adalah sebagian dari Sang Narayana.
Badanmu adalah kelahiran sang Wisnu.
Segala dunia dahulu ditanggung olehmu.
Kamu harus menjaga kedamaian kami.)

2.

All of our sufferings derive from our habbits
Of selfish delusion we heed and act out
As all of us share in this tragic misfortune
Wich stems from our narrow and self-centered ways,
We must take all our suffering and the miseries of
other
and smother our wishes of selfish concern

(Seluruh penderitaan kita berasal dari kebiasaan kita
Lewat hayalan yang egoistik kita melihat dan bertindak
Ketika kita semua berbagi dalam kemalangan yang tragis ini
yang berasal dari cara kita yang sempit dan selfis itu
kita harus menanggungsemua penderitaan dan
kesengsaraan orang lain serta justru akhirnya
harus memendam seluruh keinginan kita)

Penggalan pertama merupakan sebuah penggalan dari kisah Ramayana, ketika Rama berada di sebuah pertapaan para resi untuk melindungi tempat tersebut dari serangan raksasa. Sebelum berperang panjang, Rama memperoleh sejumlah wajangan (ajaran) dan pelatihan dari para resi petapa tersebut selama kurun waktu tertentu. Ajaran-ajaran yang sesungguhnya juga menjadi landasan moral penciptaan Ramayana. Ramayana sendiri merupakan sebuah epos yang berasal dari India dan oleh temuan arkeologis telah tersebar di Nusantara selambatnya sejak abad 9. Hal ini bisa kita pastikan melalui keberadaan rangkaian relief Ramayana di Candi Perambanan, yangmana, babakan kisah Rama dan para resi di pertapaan tersebut menjadi salah satu bagian yang juga termasuk dalam rangkaian relief di Candi Perambanan.

Penggalan kedua merupakan 1 bait dari 119 bait “Wheel of Sharp Weapons” karya Dharmakirti. Dharmakirti adalah salah seorang guru besar, filsuf, sekaligus pendeta terpenting di zaman puncak Sriwijaya pada abad 9, ketika Swarnadwipa (tanah Sumatra) di bawah kerajaan Sriwijaya menjadi salah satu pusat pendidikan intelektual dan penyebaran agama Buddha di Dunia. Dengan menggunakan metafora bumerang sebagai gambaran umum, pada karya ini Dharmakirti menulis serangkaian percikan permenungan untuk coba memanifestasikan lebih lanjut ajaran-ajaran Buddha Mahayana, khususnya yang berpusat pada nasehat-nasehat mengenai (konsep) samsara dan karma.

**




Keberadaan karya sastra dengan muatan ajaran terus lestari dan bahkan diperkuat oleh kedatangan agama islam ke tanah Nusantara. Salah satu tokoh yang banyak diperbincangkan dalam hal penyebaran ajaran islam melalui karya sastranya adalah Hamzah Fansuri, seorang penyair keasalan Barus yang hidup di abad ke-16. Karyanya begitu terkenal di seluruh tanah Melayu dengan ajaran-ajaran keagamaannya yang sangat filosofis. Bukan hanya terkenal, bahkan menjadi salah satu karya penting yang membentuk dasar identitas bagi kebudayaan Melayu-Islam. Sehingga, karya yang digubahnya seakan-akan menjadi jiwa bagi masyarakat Melayu itu sendiri. Mari kita coba baca penggalan dari salah satu karya Hamzah Fansuri berikut.

Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetuli jalan tenpat berpindah
di sanalah I’tikat diperbetuli sudah

Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil dirimu
tiadalah berapa lama hidupmu
ke akhirat jua kekal diammu

(Syair Prahu, Hamzah Fansuri)

Apa yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri melalui syair dengan pola 4-4(rubai’)nya, seakan-akan telah meberikan percikan awal dari sifat dari kebudayaan Melayu yang pada akhirnya benar-benar diidentikkan dengan Islam (dan syair 4-4). Kita kini mendengar di setiap banyak perhelatan budaya negara serumpun, sejumlah tokoh yang masih memegang teguh kebudayaan Melayu selalu menyuarakan slogan “Adat bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah.” Bahkan lebih dari itu, mereka menyatakan bahwa “Melayu adalah Islam. Bukan Melayu jika tak Islam.” Pernyataan demikian selalu diungkapkan dengan amat tegas, sebagaimana mereka pula senantiasa mengutuk pengaruh kebudayaan barat yang konon cenderung sering meminggirkan, menghambat, hingga selalu berusaha menghancurkan (benarkah?) ketimbang bisa berdialog dengan kebudayaan Islam.

Raja Ali Haji merupakan satu tokoh lain yang selalu digadang-gadang hingga mungkin seakan telah jadi role-model kepenyairan Melayu-Islam disaat ini mengikuti nama Hamzah Fansuri. Meskipun ia mengambil bentuk pola kesusasteraannya dari tradisi masyarakat Hindu (Gurindam, Bahasa tamil: Kirindam) bukan seperti pola syair yang dekat asosiasinya dengan kehidupan masyarakat islam di berbagai belahan dunia, kemasyhuran namanya (sekali lagi) seperti tetap berhasil mengikuti kemasyhuran Hamzah Fansuri. Jika kita coba ajukan pertanyaan simulasi akan apa yang menyebabkan Raja Ali Haji bisa memperoleh posisi yang demikian, maka, jika kita renungkan dari berbagai penelitian yang dibuat atasnya, ternyata kita bisa menyimpulkan bahwa ada andil besar dari muatan puisi-puisinya yang berupa ajaran-ajaran moral yang ia sampaikan melalui Gurindam(dua belas)nya. Sehingga, seakan-akan itu menjadi pintu yang terbuka lebar bagi para pembaca untuk mendapatkan satu cita rasa kebijaksanaan dari penulisnya; khususnya untuk keperluan penerapan pada kehidupan sehari-hari yang segera dan praktis. “Cahari olehmu akan sahabat,/ yang boleh dijadikan obat.// Cahari olehmu akan guru,/ yang boleh beri tahukan tiap seteru.//,” begitu kira-kira contoh petikan yang ada di Gurindam 12 Raja Ali Haji.

Jika kita teoritisasi lebih jauh, dapat dikatakan bahwa manifestasi dari kesusasteraan bermuatan ajaran maka kita akan menemukan tiga tipe yang paling menonjol darinya. Pertama tipe ajaran yang diungkapkan dalam sebuah pewedaran diri, kedua tipe ajaran yang diungkapkan dalam sebuah pewedaran pengetahuan terkait apa dan bagaimana ajaran yang dimaksud itu sendiri, dan ketiga, dalam pengungkapan yang sifatnya lebih praktis, yaitu, diungkapkan dalam rupa ikat-ikatan nasihat (intruksi moral).  Dari kacamata yang demikian, maka sangat diwajarkan jika muncul pendefinisian asal-usul kata sastra (dalam Sanskrit) di berbagai sumber rujukan dengan menghadirkan tiga kata secara berdampingan: ajaran, pengetahuan dan instruksi. Meskipun, sebenarnya urutan yang lebih tepat adalah pewedaran ajaran melalui: pewedaran diri, pewedaran pengetahuan akan ajaran terkait, dan nasihat.

**




Membaca puisi-puisi dalam kumpulan buku ini, kita akan dibuat merasakan selain begitu kental ungkapan permenungan diri (refleksi spiritual pribadi–sebagaimana terdapat dalamdua buku milik Pak Samad sebelumnya yang sama pernah saya kuratori: Jiwa nan Sunyi dan Hu Allah!), tradisi menyampaikan ajaran dengan cara pewedaran pengetahuan juga tradisi mengangkat nasihat sebagaimana telah lama mengakar di tanah Melayu, masih cukup mewarnai. Mari kita baca dua contoh sajak milik Pak Samad berikut.

Ilmu itu Dalil

Ilmu itu cahaya
terhampar luas di cakrawala
di alam nyata di dunia tak kasat mata

Pengetahuan jadi bukti
mengenai dalil mendalil
Pengalaman jadi ilmu tiap pribadi

Dalil itu keterangan
Keterangan itu cahaya
membuat yang gelap jadi nyata

Dalil itu ada yang naqli
tak sedikit yang aqli
Akal adalah karunia Ilahi
Pakailah tuk memperindah hidup ini

Samboja, 14092021

 

Wujudkan

Wujudkan yang diucapkan
realisasikan apa yang ditulis
dua malaikat ada menyaksikan

Semua kan dipertanggungjawabkan
tidak omdo, bukan omong doang
tapi sungguh buktikan

Wujudkan dalam dunia kenyataan
biar terlihat oleh mata kepala
terbukti fakta nyata ada

Seperti hujan menyirami alam semesta

Samboja, 25 Juli 2021

 Membaca karya puisi di atas kita akan merasakan aspek ajaran yang begitu jelas hendak disampaikan melalui pewedaran pengetahuan dan nasihat langsung. Jika kita coba urai, maka setidaknya kita bisa memetik masing-masing tiga ajaran untuk kita pegang secara praktis pada dua puisi di atas. Pertama, terkait eksistensi ilmu sebagaimana fungsinya baik sebagai penerang juga sebagai bukti berdalil, kedua terkait dua jenis dalil yang bisa digunakan dalam setiap berargumen, dan ketiga, terkait status akal sebagai sebuah pemberian karunia serta fungsinya dalam kehidupan, keempat mengenai tanggung jawab, kelima, menjaga ucapan, dan keenam tentang hidup yang bermanfaat.

Jika dikaitkan dengan ajaran dasar (doktrin) agama yang menjadi latar kreatif, maka kita pula akan begitu jelas menariknya ke dalam rumpun doktri ajaran Islam–bukan kepada ajaran agama lain. Dari penulisan puisi pertama misalnya, maka kita akan menemukan sebuah penggalan Hadits yang berbunyi persis sebagaimana baris pertama di atas: “Ilmu adalah cahaya.”  Posisinya yang demikian, menandakan bahwa puisi yang dibuat sebagai karya sastra, sama sepertihalnya telah di singgung sebelumnya, bahwa karya sastra akhirnya difungsikan menjadi sebuah tafsir, menjadi sebuah pemerinci dari sebuah ajaran yang dicetuskan. Hal demikian memang menjadi satu gejala yang umum terdapat di seluruh tradisi pengembangan intelektual di setiap agama, tak terkecuali dalam islam; dalam tradisi pengembangan ilmu-ilmu keiislaman. Para penyair sufi, pada akumulasi karya-karyanya yang sangat melimpah secara umum, tak lain adalah sebuah catatan lebih lanjut atas sejumlah ajaran (doktrin-doktrin) keagamaan yang menurutnya bisa ditafsirkan sesuai konteks (permenungan) tertentu. Begitu pula sesungguhnya apa yang dilakukan oleh sejumlah teolog, filsuf, hingga sejumlah ahli fiqh. Misalnya, Imam Waki’ yang merupakan guru dari Imam Syafi’i pernah memberi catatan tambahan pada Hadits yang tersebut sebagai berikut,




“Al ‘ilmu nuurun
Wa nuurullah laayahdii li’aashiy.”

(Ilmu itu cahaya
dan cahaya Allah tak akan turun kepada ahli maksiat)

Apa yang diungkapkan oleh Iman Waki’ tentu adalah sebuah ungkapan sastrawi, sebuah poetic speech, proverb, pepatah, bidal, yang bisa jadi memberikan nilai lebih dari petikan awalanya. Bisa juga malah sebaliknya, mengurangi nilai aforistiknya. Begitu pula, apa yang coba dilakukan oleh Pak Samad ketika memperpanjang petikan tersebut ke dalam rangkaian baris empat bait. Apakah memperkuat makna awalnya, atau sebaliknya? Atau tidak memperkuat dan tidak memperlemah tetapi membuatnya menjadi lebih bercabang? Tentu, ini bisa kita timbang bersama dalam sebuah diskusi karya yang santai.

**

ilmu itu Cahaya

Seperti matahari di depan cermin
semakin terang cerah  cahayanya
Bila diterapkan hidup secara nyata
berbuah menjadi hikmah bijaksana

Hikmah berarti butiran mutiara
Ungkapan penuh kebenaran nyata
miliknya mereka yang  penuh percaya
Begitu hakikat kehadiran alam semesta

Dimanapun menemukannya
tua muda pungutlah dengan bijaksan
jangan biarkan lenyap diterpa badai

Samboja 28/6/2021

Apa yang juga dikerjakan olejh Pak Samad pada puisi Ilmu itu Cahaya tak jauh berbeda dari puisi sebelumnya.  Membuat sebuah pemerincian atas doktrin yang masih sama mengenai status ilmu. Beda dari yang sebelumnya adalah, jika pada puisi sebelumnya digunakan gaya bahasa yang lebih gamblang, pada puisi yang baru saja dikreasikan dengan babasa yang lebih berkias. Bagi orang yang mecari puisi dengangaya bahasa syarat perumpamaan, maka akan lebih tertarik dengan puisi ini ketimbang puisi yang sebelumnya.

**

Membaca puisi-puisi dalam kumpulan buku ini, lebih tepat jika diposisikan sebagaimana membaca buku-buku kesasteraan Melayu-Islam. Sebab, jika kita gunakan kacamata pencagaran tradisi Melayu yang lebih luas, maka kita akan menemukan, sebagai orang yang hidup di tanah Kutai, Pak Samad sendiri tak terlihat telah menyerap kebudayaan asalnya, terlebih punya agenda untuk mempertahankan satu jenis kearifan lokal sebagaimana masyarakat suku Dayak yang menjadi salah satu pemegang tradisi yang diwariskan oleh para leluhurnya. Tak ada Karungut, tak ada Dedar, tak ada Sasana, Kana, Lamut, Mandahin, Bapando, atau lainnya dalam buku ini, kecuali tradisi basyair yang mungkin memang telah mendaging bersama kehidupan islami yang dijalani. Apakah ini berarti sebuah kesalahan? Tentu tidak. Karena ini bisa saja merupakan sebuah keputusan kreatif yang memang didorong oleh semangat sepenuhnya kepada kearifan agama yang dianut sebagaimana sejumlah pegiat sastra dan budaya Melayu-Islam yang sudah disinggung.




Kita pula tak bisa memaksakan membaca puisi-puisi Pak Samad dengan kacamata teori Sastra Modern Barat, kecuali sebagai sebuah usaha dialog re-kreatif untuk membuka potensi penggubahan karya-karya selanjutnya. Jika kita paksakan untuk menariknya ke dalam kacamata teori (kritik) kesusasteraan Modern Barat, maka bisa jadi kita akan kehilangan cara untuk menikmati karya Pak Samad lebih jauh. Semisal, salah satu cara baca kesusasteraan modern ialah dengan memberikan perhatian lebih pada kreativitas bentuk dan metode ungkap dengan sekaligus mengesampingkan perhatian pada latar spiritual dari sebuah karya. Sedangkan cara kerja puisi-puisi Pak Samad justru bergerak di bawah payung spiritual, ketimbang bergerak pada pure art yang mengejar kreativitas bentuk. Meskipun, bukan berarti dalam buku ini tak ada kreativitas bentuk coba digunakan oleh Pak Samad. Jika terburu-buru berpandangan demikian juga sungguh keliru.

Dengan penggunaan latar nuansa layaknya karya-karya Melayu Islam, puisi-puisi milik Pak Samad mengandung sejumlah style ala Syair Melayu yang di antaranya tercakup: (1) penyusunan rima, (2) penyusuan pola jumlah baris dalam setiap bait, (3) pengaitan antara baris sampiran dan isi, (4) digunakan ungkapan-ungkapan perumpamaan. Namun, jika kita perhatikan lebih jauh, maka di sana terdapat sesuatu yang sesungguhnya tak ada dalam style penyusunan Syair Melayu, yaitu (5) perhatian pada tipografi sebagaimana pada puisi berikut,

Banyak keadaan mesti dibersihkan
hati kotor merusak ketenangan
otak kaku terus berkeliaran
dendam membakar badan

Dalam diri ada pohon tua
bagai benalu terus mengganggu
latih diri belajar menghargai sesama
bersihkan serangan hama segala gulma

Penggalan puisi di atas tentu tak akan sampai memiliki nilai tipografis sebagaimana bisa kita dapati, jika Pak Samad tak memberikan perhatian pada bagaimana agar kata-kata yang hendak disusun tak hanya bisa menjadi serangkaian kalimat yang membangun kekuatan makna, kemerduan rima, dan keasyikan perlambangnya, tetapi, juga sekaligus agar mendapatkan bentuk dengan presisi tertentu. Dan jika kita hanya menengok cepat saja dari lembar ke lembar  buku ini, kita akan langsung melihat bahwa pekerjaan menyusun tipografi puisi memang jadi salah satu usaha kreatif yang telah dilakukan oleh Pak Samad untuk memberi nilai tambah akan karyanya.

**

Terakhir, ketika menyodorkan naskah ini, Pak Samad mengatakan, bahwa buku ini adalah sebagai buku persebahan untuk diri sendiri di ujung masa purnabaktinya sebagai salah satu tenaga pengajar. Tentu ini satu hal yang menarik sebab Pak Samad ingin mengakhiri masa kerjanya bukan dengan melepaskan segala jenis beban, justru melainkan dengan terus memacu diri untuk menerbitkan sebuah karya. Juga yang lebih menarik dari itu, Pak Samad mengatakan bahwa ia ingin mengisi waktu-waktu luangnya nanti dengan lebih banyak lagi belajar untuk bekal berkarya lebih banyak lagi dari sebelumnya. Amin!

Cirebon, 27 September 2021



Tags:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

AVANT PROPOSE


Puisi berasal dari bahasa Yunani, Poiein (buat/making) dengan tambahan -is (aktivitas) di belakangnya. Poiein+is, Poiesis (aktivitas membuat ulang). Kata ini digunakan dalam banyak konteks yang tak hanya pada pekerjaan seni atau lebih khusus seni berbahasa; pada kerja manufaktur hingga dalam penerapan ilmu kedokteran. Contoh yang paling sering saya bawa misalnya pada kata Hematopoiesis (proses natural pembuatan ulang darah: proses pengembangan darah di dalam tubuh yang melibatkan pembelahan hingga diferensiasi kefungsian sel). Akan tetapi, dalam hal ini baiklah kita batasi saja pada kegiatan seni membentuk ulang bahasa, yangmana, para pemikir Yunani ...

Klik Di sini

 

This will close in 0 seconds