1. Mempunyai Sikap yang Benar
Banyak sekali saya temukan kesalahan dalam penggarapan karya puisi bermula dari sikap berpuisi yang salah. Menganggap berpuisi adalah sekadar main-main yang tak penting, sekadar untuk mempergombalkan kata-kata apa yang hendak diungkapkan, menganggap bahwa berpuisi itu sebatas sebuah aktivitas ekspresi tanpa arah, menganggap bahwa berpuisi adalah berfiksi ria dengan lamunan-lamunan yang tak ada juntrungnya, menganggap bahwa berpuisi adalah perkara yang gampang saja tanpa mesti belajar! Sikap-sikap yang demikian jelas harus dihindari oleh para pemula yang hendak mulai berpuisi dengan benar. Sikap berpuisi adalah sikap seorang seniman. Seniman hadir di antara orang banyak sebagai pengkarya yang bukan sekedar berkarya, tetapi dengan mengedepankan keindahan yang beralasan; mempunyai landasan teoritik mengenai estetika.
2. Tahu Betul Apa yang Mau Ditulis
Penulis pemula biasanya gagal dalam menulis disebabkan karena tak tahu apa yang hendak ditulisnya. Hanya dengan mengandalkan ekspresi perasaan yang meluap-luap, atau kedapatan inspirasi satu dua siratan kalimat, langsung dituangkan ke dalam sebuah kerja puisi tanpa pengendapan dan pemeriksaan terlebih dahulu. Alhasil, apa yang dihasilkannya secara keseluruhan tak lebih dari sekadar kerja asal-asalan dengan tujuan teramat kerdil hanya untuk menyampaikan ekspresi sesaat dan inspirasi kecilnya. Temanya tidak jelas, topiknya tidak jelas, penjudulannya tak tahu akan seperti apa. Apalagi teknik. Akhirnya hanya asal comot dan digunakan tanpa pertimbangan. Sehingga, yang tercipta adalah karya yang tak karu-karuan. Seorang seniman, tahu betul apa yang akan disampaikannya.
3. Perhatikan Basic Writting
Setiap penulis pemula harus mempunyai perhatian akan ini! Dari mana akan memulai sebuah karya puisi jika tidak melalui dan berpijak pada basic writting? Adapun yang dimaksud basic writting itu banyak. Tiga yang paling harus diketahui adalah soal tipe tulisan secara umum: Deskripsi, Narasi, atau Eksplanasi. Tipe tulisan dengan penekanan penggambaran objek, tipe tulisan dengan penekanan cerita, dan tipe tulisan dengan penekanan pada penyusunan pendapat subjektif. Ini adalah hal dasar yang bisa dikatakan merupakan backbone dari setiap tulisan. Tak terkecuali, apa yang dibuat oleh para master.
4. Bentuk
Bagi penulis pemula, hal paling dasar yang bisa dipilih dari bentuk karya hasil berpuisi yaitu: bentuk berlarik-bait dengan susunan kalimat yang umumnya terpenggal-penggal atau pendek-pendek, bentuk paragraf dengan penataan bentuk sebagaimana paragraf pada artikel-artikel, kemudian bentuk dalam rupa puisi konkrit dengan tipografi yang mewujudkan bentuk khusus tertentu. Umumnya, banyak sekali penulis pemula (bahkan juga yang senior) seringkali mencampurkan kalimat-kalimat utuh yang panjang ke dalam penataan larik dengan tanpa pertimbangan keseimbangan dan kepantasan tipografis. Hal ini sungguh akan membuat banyak pembaca tak tertarik, bahkan jika dipaksakan terlalu sering akan membuat mata mulas. Ingat, peradaban teks adalah sesuatu yang dimulai dari sesuatu yang dilihat; kecuali teks-teks khusus seperti braille. Lebih jauh, soal keseimbangan ini, pula akan berkaitan dengan ritme.
5. Diksi
Saya sudah menyampaikan di banyak kesempatan bahwa persoalan diksi bukanlah sekedar persoalan pilihan kata. Tetapi, dalam tradisi keilmuan Yunani, ia juga merupakan persoalan gramatik dan sintaksis. Berbanding jauh dari pemula yang bahkan menganggap bahwa diksi adalah sekumpulan kata yang sudah pasti indah dengan sendirinya (siap saji) ketika dibubuhkan pada karya dengan kualitas tulisan yang buruk.
Diksi berasal dari bahasa Latin, “Dictio-Dictus-Dicere” yang artinya “to speak”: untuk mengungkapkan sesuatu. Dalam seni pidato, orasi, dan segala seni berbicara yang menggunakan tipe bahasa prosaik (straight-word, bahasa yang gamblang), “to speak” di sana bersanding dengan sifat klaritas, yaitu sifat tidak/minim terdapatnya ambiguitas makna. Sedangkan, dalam tradisi seni bahasa dengan penggunaan figuratif speech (pola kiasan), “to speak” di sana justru seringkali bersanding dengan efek ambiguitas itu sendiri, atau efek estetik lain yang hendak diciptakan. Misalnya, efek rima dan iramatik pada susunan kalimat, pemadatan gramatik, dan seterusnya dan seterusnya.
Persoalan diksi ini cukup populer dalam tradisi keilmuan di Romawi. Sebagai kata, ia muncul di era ini. Akan tetapi, sebagai sebuah konsep dan kajian, sesungguhnya ia sudah menjadi kajian yang banyak dibahas bahkan lebih luas cakupannya dan serius di zaman Yunani klasik. Aristoteles misalnya dalam Poetics, Rethoric, hingga Organon (logic), berurusan panjang dengan persoalan penempatan kata ini sebagai basis dari percakapan dan diskursus di ruang publik.
Diksi tidak hanya sebatas sekumpulan pilihan kata, tetapi, lebih tepatnya pilihan kata itu diambil dari “keranjangnya” untuk kemudian ditempatkan dalam konteks kalimat tertentu. Dengan kata lain, persoalan diksi di sini akan menunjukkan selain pada kata-kata yang muncul, lebih lagi struktur gramatik dan sintaksis yang terbentuk, juga, sebenarnya tersirat perilaku berbahasa penuturnya (ada unsur psikologi kepengarangan), sudut pandang terhadap persoalan, hingga pandangan hidup yang melandasinya; filsafatnya.
Ini yang menjelaskan, mengapa dua orang berbeda ketika menggunakan sekumpulan kata yang sama bisa menghasilkan ungkapan yang bahkan sangat jauh berbeda. Yang satu bisa menjadi sebuah ungkapan yang sangat filosofis dan dalam, lainnya, bisa hanya menghasilkan sesuatu yang dangkal bahkan secara logis berantakan. Begitu juga berlaku pada kualitas dari pembentukan komposisi ujarannya.
5. Rima
Hal basic yang paling menonjol, paling sering digunakan dan mudah dirasakan secara langsung oleh pembaca pada level apapun adalah dengan cara menambahkan rima pada karya tulis kita. Jika kita belajar linguistik umum, maka di sana akan ditemukan bahwa kata adalah sebuah susunan dari beberapa phone (suara yang dilafalkan) untuk mewakili makna tertentu. Oleh karenanya, sangatlah wajar bahwa dalam pengkomposisiannya lebih jauh, sekumpulan kata bisa menciptakan satu rima atau pola bunyi tertentu. Rima memiliki pengertian yang sama dengan Saaj’ (sajak). Dalam karya-karya sastra berbahasa Arab, persajakan adalah sesuatu yang sangat vital. Melalui persajakan (perimaan), banyak syair-syair juga hadrah-hadrah menjadi enak didendang hingga mudah dihafal. Rima bisa kita letakkan di setiap antar penghabis kalimat, baris, paragraf, atau bahkan di dalam setiap ketukan kata.
6. Gaya Bahasa
Persoalan gaya bahasa ini seringkali disalah pahami. Gaya bahasa pada umumnya dikaitkan dengan majas. Padahal, dalam penarapan puncaknya ntidak demikian. Gaya bahasa amat sangat berbeda dengan majaz atau figuratif style (gaya pengkiasan). Gaya bahasa ini merupakan totalitas style dari seorang penulis dalam menghadirkan keseluruhan teksnya yang terus berulang selama waktu tertentu. Oleh karenanya, seseorang yang telah memiliki gaya berbahasa yang khas, maka ia tidak akan lagi terlihat nampak sering bergonta-ganti majaz atau hanya sebatas kerajinan teknik dalam pengerjaan karyanya tanpa alasan. Gaya bahasa yang digunakan akan menandai sikap (dan pandangan hidup) kepenulisannya. Melalui perhatian pada gaya bahasa pula akan terlihat ada di dalam komunitas mana seorang penulis berpijak.
7. Majas
Namun, sebagai penulis pemula bolehlah ketika belum mendapatkan atau mengenali betul gaya bahasa kita sendiri, maka bisa mulai dengan mempraktikkan berbagai aneka majas secara bergantian sebagai latihan berkala sampai menemukan style utamanya tersendiri. Hanya saja, perlu digaris bawahi sekali lagi, sebagaimana sekumpulan kata dalam keranjang, sekumpulan majas dalam keranjang (teknik) tak akan serta merta membuat karya kita bagus jika eksekusinya buruk. Sebagai contoh, kita bisa menuliskan demikian: “Aroma itu mendengar kita,” dengan alasan sebuah teknik Sintesia. Bahwa ada Sintesia di dalamnya (antara sesuatu yang berkaitan dengan unsur penghidu dan pendengar), iya. Tetapi, jelas sekali Sintesia yang dilakukan tidak lebih dari sekedar omong kosong yang tak punya kualitas akaliah yang sehat dan cenderung berakar pada mental illness (adanya simtom kesakitan mental). Beberda ketika kita menuliskan: “Aroma itu mengejar kita.” Pada kalimat kedua tersebut, Sintesia bekerja sebagai sebuah penge(r)jaan seni.
29 Juni 2021
*Tulisan di atas merupakan salah satu tulisan yang ada pada naskah “Proses Kreatif & 404 Eror Pikir Pemuisi Pemula,” yang akan dinaikcetakkan dalam waktu dekat. #sainsPuisi
Shiny.ane el’poesya.11 Juni 1991. Pernah melihat bulan kembar di usia taman kanak-kanak. Founder sainspuisi.com, Sainspuisi.Lab, Poiesis Publisher. Penulis buku puisi Kotak Cinta (2017), Sains Puisi (2019), Bidadari Masehi (2020), Sayap Patah (2020), Bid(a)dari (2021), Anggur Kekasih: Setengah Tanka (2021). Bagi saya, Puisi itu tidak hanya aktivitas berurusan dengan kata-kata belaka; puisi lebih jauh dari itu.
________
Lebih lengkap dijelaskan dalam buku berikut:
Judul : Proses Kreatif & 404 Eror Pikir Pemuisi Pemula
Penulis : Shiny.ane el’poesya
Tahun : 2021
Pemesanan klik : (PESAN)
Puisi berasal dari bahasa Yunani, Poiein (buat/making) dengan tambahan -is (aktivitas) di belakangnya. Poiein+is, Poiesis (aktivitas membuat ulang). Kata ini digunakan dalam banyak konteks yang tak hanya pada pekerjaan seni atau lebih khusus seni berbahasa; pada kerja manufaktur hingga dalam penerapan ilmu kedokteran. Contoh yang paling sering saya bawa misalnya pada kata Hematopoiesis (proses natural pembuatan ulang darah: proses pengembangan darah di dalam tubuh yang melibatkan pembelahan hingga diferensiasi kefungsian sel). Akan tetapi, dalam hal ini baiklah kita batasi saja pada kegiatan seni membentuk ulang bahasa, yangmana, para pemikir Yunani ...
This will close in 0 seconds