“… sebuah kota, mungkin bisa jadi terlihat begitu damai jika dipandang dari atas sebuah bukit atau gedung tinggi di sunyi malam hari. Tetapi, tiba-tiba seketika pula akan terasa begitu ugal-ugalannya saat kita coba mendekatinya pada jam-jam yang pancaran cahayanya jauh lebih terang benderang. Pada saat itu, sebuah kota, barangkali pada akhirnya akan lebih cocok diposisikan sebagai sebuah tempat yang–sepertihalnya Remy Sylado dalam Paris Van Java di bagian permenatan–penting untuk dihujat, ketimbang sebagai ruang psikologis untuk dikenang.”
Kira-kira, jawaban apa yang akan didapat ketika kita coba bertanya kepada seorang remaja mengenai makna kata “kota?” Kehidupan yang sumpek? Kemacetan jalan sebab kendaraan yang bejejer-jejer? Kecemasan yang selalu menimpa setiap akhir bulan sebab datangnya kebutuhan dan berbagai tagihan ini itu, sedang, persediaan uang di dompet hanya tinggal satu dua lembar saja atau bahkan sudah tak tersisa sama sekali? Gairah kerja teman satu tim yang melesu sebab mengalami hal yang serupa? Apa jawabannya demikian? Justru, jawabannya, tentu tidak. Yang akan keluar dari bibir mereka adalah sebaliknya, meskipun, apa yang sudah disebutkan itu adalah realitas yang benar-benar nyata terjadi pula bisa dikatakan dialami oleh hampir 90% mereka yang memang menjalani kehidupan sebagai masyarakat kota.
Pertanyaannya, apa sebabnya jawaban yang muncul demikian? Jawabannya, tak lain sebab perkenalan hampir dari setiap mereka terhadap kehidupan kota yaitu: Pertama, melalui sinetron. Kedua, melalui rentetan bualan actris di televisi ketika diwawancarai wartawan gosip mengenai kehidupannya. Ketiga, melalui akun-akun media sosial milik para selebriti yang gemar mempertontonkan gaya hidup glamour, sweet booking di restoran berbill premium, dengan memamerkan pula segala harta kekayaan keluarga yang tak akan habis turun temurun, atau, keempat, dari gabungan kesemuanya sehingga yang nampak kepada mereka adalah gambar halaman kota yang “wow” ala Great Gatsby; melalui sebuah bayang-bayang yang dibuat gemerlap meskipun kabur dan lebih mirip mimpi ketimbang potret real kondisi utuhnya.
Jika ditambahkan dari gambaran generasi muda yang bertinggal di sekitar pusat hunian OKB kota, maka akan muncul dari mereka citra lampu-lampu, pemuda-pemudi lain yang tampan-tampan dan cantik-cantik dengan pakaian yang modis juga tak jarang menantang gairah lawan jenis, kafe-kafe yang berpantulan cahaya warna-warni di bawah bulan, minuman-minuman jenis sirup yang beraneka ragam atau dari jenis minuman kaleng bersoda, musik RnB, alkohol, disko, nongki-nongki yang tak kenal jam malam, tawa penuh bahak, lontaran kata ngelantur ke sana ke mari yang tanpa perlu sopan-santun apalagi sekedar rasa canggung, mabuk setengah teler, adegan mesra di pinggir jalan, percumbuan, bisik-bisik penyewaan tubuh dan kelamin, budaya mesum, drugs, yang jika kita rangkum maka semuanya akan terpadatkan dalam satu frase cetak miring: Dunia malam!
Di sisi lain, kata kota pula seringkali diidentikkan dengan perkantoran, gedung-gedung tinggi, gaji yang menggiurkan, karir yang menjanjikan, kendaraan-kendaraan seri terbaru dan nomor satu, pusat-pusat perbelanjaan elit, rumah-rumah mewah, gambaran sekaligus janji kesejahteraan dan keberlimpahan harta yang berlipat-lipat, padahal, di sebalik itu, sepuluh senti di balik jajaran punggung-punggung beton berkaca, yang kita temui adalah justru kenyataan hidup 180 derajat sungguh berbeda dari itu semua: warung nasi dengan bangunan rumah bedeng tempat berkumpulnya para kuli proyek, berparkirnya tukang jaja kopi eceran di antara pemulung sampah botol plastik, penjual pulsa dengan etalase kaca yang buram, deretan rumah 30×60 yang dindingnya mulai retak, tukang siomay dorong dengan gerobak yang kayunya sudah mulai kropak, pegawai-pegawai pentri, satpam, staff jaga parkir lantai dasar gedung yang berebut makan dengan kancing bagian atas terbuka; selingkar kehidupan yang begitu terjepit. Sehingga jelas memberikan kepada kita akan gambaran kota–metropolis modern sebagaimana kini kita kenal, yaitu sebuah kehidupan yang pada dirinya sendiri nampak begitu bimbang.
Jakarta, menjelang 2019, misalnya, ketika seorang gubernur yang digadang-gadang oleh kelas menengah terdidik akan dapat menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi di kota, justru langkahnya terganjal dan jatuh oleh sejumlah demonstrasi berpanji-panji dari rangkaian sentimen sempit sebuah kelompok berbasis keagamaan. Di sisi lain, ketika ia tengah coba melakukan sejumlah revitalisasi ruang publik dan sejumlah bantaran kota, ia mesti dihadapkan dengan persoalan sosial berupa kemelekatan psikologis atas ruang huni yang konon tak bisa dibongkar begitu saja–meskipun sah di mata hukum. Media (oposisi) pun giat menyorot secara berulang aspek keharuan kemanusiaan ini sembari meluncurkan headline-headline keras kepada sang gubernur dengan label sebagai seorang penggusur yang paling tak bernurani. Padahal, kita tahu dan sudah menebak, ketika gubernur terpilih berganti yang asalnya dari kalangan kelompok pendemo pun, langkah yang dilakukan tiadalah beda demi kepentingan penataan kembali ruang kota. Yaitu, harus dijalankannya pengalihan ruang huni masyarakat pinggiran ke tempat yang lebih pantas untuk kehidupan ke depan yang lebih baik.
J.J. Rizal–yang dalam hal ini sekaligus berlaku sebagai pengamat–kemudian diberi waktu oleh salah satu media untuk mengatakan bahwa problem tersebut tak serta merta hanya melulu soal pemindahan ruang huni, tetapi, yang secara visual nampak sebagai sebuah penggusuran sebab berhadap-hadapannya antara alat berat dengan rumah-rumah bedeng sejenisnya secara jelas. Lebih dari itu, ia mengatakan bahwa kasus tersebut adalah juga merupakan sebuah peristiwa pemutusan, penceraian paksa, pencerabutan sekelompok manusia dari ruang hidupnya yang lama, yang sudah memiliki jaringan sosio-psikologisnya tersendiri, sehingga ketika dipindahkan pada satu situasi ruang-psikologis yang baru, maka belum pasti akan tercipta ruang-ruang romantik yang demikian sama yang tidak semua orang siap dengan situasi baru–yang anomali. Sebaliknya, ketika sang gubernur diberi kesempatan bicara di depan media, ia pun tak mau begitu saja lagi-lagi dituduh sebagai yang tak manusiawi.
Ia melemparkan pertanyaan kepada publik, bahwa, mana yang lebih manusiawi, melahirkan anak-anak dan merawatya di bantaran sungai yang kumuh, setiap hari mandi dengan air kotor, dekat dengan tempat pembuangan sampah, lingkungan yang penuh lalat dan nyamuk dengan tingkat DBD yang terus naik, atau pindah ke tempat yang lebih bersih, disediakan klinik dengan dokter gratis, kartu jaminan kesehatan, anak-anak diberi Kartu Pintar untuk mendapatkan sejumlah fasilitas pendidikan secara gratis, pergi ke sekolah dijemput dengan bus tanpa harus membayar, dan fasilitas sosial lainnya? Segera hal-hal ini pun bergeser menjadi sebuah debat pengetahuan yang mengundang sejumlah ahli tata kota lain untuk turut bicara. Sebagaimana hakikat perjalanan pembentukan kota itu sendiri yang memang dibangun dengan berbagai perdebatannya; bagaimana kita mesti bersama-sama merumuskan sebuah kota yang bisa beridiri dengan megah, juga sekaligus bisa melahirkan social justice di dalamnya?
Jika ditinjau dari ukuran geografis, kita pula tak pernah bisa memastikan batas luas sebuah kota sebesar atau sekecil apa. Sebuah kota bisa jadi adalah perkembangan dari sebuah wilayah Kabupaten yang makin kompleks spesialisasi kerjanya, organis tata sosialnya dan makin bercorak dagang secara ekonomi, atau bahkan lebih kecil sebagai sebuah “kota baru” yang terdiri dari wilayah kompleks hunian elit yang dirancang oleh para pengembang properti sebagaimana makin populer saat ini, atau bisa jadi sebuah kota adalah gabungan dari sejumlah kota ibu dan kota-kota satelitnya sehingga mencakup sebuah wilayah yang disebut mega-polis, atau bahkan, sebuah rancangan “kota global” yang semakin terintegrasi sebagaimana dicanangkan dalam program 15-tahunan SDG-PBB. Tentu, besar-kecilnya luasan kota saat ini (sebagai sebuah program pembangunan) tak lagi menjadi sebuah kemustahilan dengan semakin majunya berbagai bidang ilmu dan teknologi yang bisa menopangnya. Meskipun, di satu sisi, bagaikan makan lezat tergigit lidah, ternyata lagi-lagi manusia dibuat “aduh!” oleh nasib; 2019, sebuah virus meletus, dan menjadi wabah, kemudian wabah meningkatkan dirinya menjadi sebuah pandemi yang meliburkan paksa hampir seluruh kota-kota di dunia. Lantas, kemudian para pelaku hidup di kota-kota besar negara manapun seakan-akan berlomba “baru menyadari” bahwa kehidupan yang maju (dengan segala kultur ekonomi dan teknologi tingginya) pula tetap mengandung dalam dirinya sebuah resiko yang bisa membuat semua yang direncanakan begitu matang dan panjang, menjadi ambyar dalam sekejap.
Namun, sesungguhnya lebih jauh dari hal itu. Sebab kota-kota ini dan kota-kota itu yang entah lainnya, memang tidak sebagaimana desa yang pemukimannya muncul sebagai proses pendamaian batin terhadap alam; yang dipilih sebagai tempat menetap dengan cara beradaptasi yang panjang dan ramah. Bangunan-bangunan kota secara fisik tak jarang dirancang dengan intervensi pembangunan dan pergeseran sosial yang instan dan justru lahir dari penumpukan segala macam hasrat yang tak terbatas. Hal ini bisa kita lihat misalnya dari tubuh bangunan Jakarta yang–sebagaimana tubuh artis yang telah dibalut tuntas oleh berbagai merek dagang–di setiap jengkalnya puluhan papan iklan tersebar secara merata, bahkan, tak jarang tubuh bangunan itu sendiri dipancang-tinggikan secara sengaja untuk selamanya sebagai menara pemancar iklan itu sendiri. Fenomena demikian inilah yang setidaknya menandai kepada kita akan satu kenyataan bahwa di antara cita-cita pemajuan peradaban umat (spesies) manusia, mengkristalnya saintek dalam arsitekturial gedung-gedung yang tak punya suara itu, sejak dirancangkannya sebagai sebuah kota modern, kemanusiaan (konsep yang ditemukan secara intelektual di zaman pencerahan sebagai pemuliaan atas martabat manusia) seakan-akan memang kembali ditempatkan hanya sebagai bagian kecil saja dari budaya primitif dalam berburu dan berebut akan sebanyak-banyaknya untung, juga pemuasan seintens-intensnya hawa nafsu yang tak terbatas itu. Dan parahnya, tak sedikit orang berbondong-bondong setiap waktu datang ke sana–ke sejumlah pilihan akan tubuh kota–untuk begitu merayakan kenyal kejasmaniannya, yang konon, begitu sexy sebab rajin ”fitnes.” Ya, begitulah kira-kira imaji kota yang ada di dalam kepala mereka, generasi muda yang sorot mata dan air wajahnya begitu metalic. Duh!
Cirebon, Kota Wali, Menjelang Juni 2021.
Kita sebenarnya punya banyak jejak mengenai hubungan antara Puisi dan Kota. Chairil misalnya, dengan Jakarta dan Karawang-Bekasinya, Sitor dengan kota-kota persinggahan dalam nasib eksilnya, Goenawan Mohamad dengan Malin Kundang dan Saliharanya, penyair generasi 70-80an dengan Taman Ismail Marzuki dan DKJnya, Rendra dengan Jakarta dan Yang Muda Yang Bercintanya, Umbu Landu dengan Malioboro dan Balinya, Remy Sylado dengan Paris Vanjava dan segala sentuhan pop culture di tangannya, Afrizal dengan Jakarta dan Berlinnya, Wowok dengan Antologi Puisi Buruhnya di Tangerang, Acep Zamzam Noor dengan kota-kota di Parahyangannya, Ahmad Syubbanuddin Alwi dengan Cirebonnya, Sunlie dan Raudal dengan memori mereka akan kota-kota kecilnya di masa lalu, Mikael dengan Kafe PaviliunPuisi Jakselnya, dan … seterusnya dan seterusnya, yang sesugguhnya, menunjukkan betapa kesusastraan kita sebagian besarnya memang terlahir di tengah-tengah deru dan campur debu kota.