LOADING

Type to search

BEBERAPA PEYIMPANGAN KEBAHASAAN DALAM PUISI

Oleh: Shiny.ane el’poesya
Penulis buku Puisi #sainsPuisi dan founder grup telegram SainsPuisi Lab.
(Join Club Link: t.me/sainsPuisi_lab)

Mungkin sebagian teman-teman pembaca di sini pernah merasakan ada sesuatu yang aneh dan sulit dipahami ketika berhadapan dengan sebuah karya puisi. Tak jarang juga merasakan kebingungan hingga bertanya-tanya mengapa puisi itu seperti ini dan tidak seperti itu? Seperti sesuatu yang dianeh-anehkan dan tidak seperti apa yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari yang mudah dicerna? Sebaliknya, bagi sebagian teman-teman di sini juga mungkin pernah merasa kebingungan yang sama ketika hendak mencoba memulai membuat sebuah karya puisi. Harus seperti apa, bagaimana dan hingga untuk tujuan apa? Bukan begitu?

Nah, tulisan di bawah ini agaknya akan coba memberikan gambaran untuk beberapa persoalan tersebut. Bagaimana sebuah puisi telah dan seharusnya bekerja dalam dunia kita, dan mengapa sebuah puisi itu harus seperti ini dan harus seperti itu. Berikut …

A.A. Teew seorang professor bidang Sastra  dalam bukunya Membaca dan Menilai Sastra (1983) pernah mengatakan, bahwa seringkali seorang penulis puisi melakukan sebuah penyimpangan bahasa pada masanya. Sebuah penyimpangan yang pada akhirnya bisa kita fahami dilakukan untuk memberikan efek tertentu baik dalam segi pengucapan, penulisan atau efek visual yang diharapkan—khususnya efek citarasa seni. Hal tersebut dikarenakan, seorang penulis puisi kerap menemukan bahwa bahasa konvensional (artinya bahasa dengan aturan yang baku pada masanya) tidak cukup untuk menjadi media menyampaikan pesan khusus tertentu.

Jika kita membaca kajian makna kalimat milik  Geofreey Leach dalam Linguistic Guide to English Poetry (1969), paling tidak ada 8 jenis penyimpangan bahasa yang terdapat dalam puisi. Di antaranya:




1.Penyimpangan Leksikal

Penyimpangan leksikal adalah penyimpangan yang dilakukan oleh seorang penulis puisi yang berhubungan dengan aspek morfologi (pembentukan kata). Jika kita perhatikan berbagai puisi, maka seringkali kita menemukan sejumlah kata-kata aneh yang tak dapat bisa dipahami dan ketika kita coba mencari-cari artinya apa di dalam kamus, ternyata kata tersebut tidak ditemukan dalam kamus. Sebagai contoh mari kita baca penggalan puisi Chairil Anwar yang berjudul Kepada L.K Bohang berikut:

Kami jalan sama. Sudah larut
Menembus kabut.
Hujan mengucur badan.

Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.

Darahku mengental-pekat. Aku tumpat-pedat

Siapa berkata?

Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga.

Nah coba kita perhatikan dua kata berikut ini, “pedat” dan “mengelucak.” Apa artinya? Apakah kita dapat menemukannya pula artinya di dalam kamus? Jawabannya, kita tidak akan menemukan artinya di dalam kamus. Sebab apa? Sebab yang dilakukan oleh Chairil adalah usaha kreatif menciptakan sebuah “kata baru” (neologisme) untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan/fikirkan.

Dalam konteks ini, terkadang kita akan menemukan berbagai kata-kata aneh yang memang benar-benar aneh sebagai sebuah kata dalam sebuah puisi, sehingga kita begitu gelap untuk meraba maknanya apa, tetapi terkadang juga seperti yang dilakukan oleh Chairil di atas, dengan hanya melakukan penyimpangannya saja sedikit dari kata-kata yang sebenarnya. Contoh, kata “pedat” dalam “tumpat-pedat” akan dengan mudah diraba maksudnya apa, sebab simpangan yangdilakukan tidaklah jauh dari kata aslinya “padat.” Begitu juga pada “menggelucak,” yang secara fonetis (bunyi kata) begitu dekat dengan kata “bergejolak” serta “berdecak.”




2.Penyimpangan  Semantis

Penyimpangan makna maksudnya adalah, praktik yang dilakukan oleh kalangan penulis puisi dengan menyimpangkan arti dari sebuah kata kepada makna lain yang dimaksudkan. Sebagai contoh: Kata “Mawar,” dalam kamus diatikan sebagai sebuah Bunga  tetapi di dalam sebuah puisi, kata “Mawar” bias dimaksudkan kepada bukan sekedar bunga, tetapi sebagai symbol dari perasaan, atau sebagai pengganti ungkapan dari “cinta.” Kata “Bulan” misalnya, dalam percakapan konvensional merujuk kepada benda langit yang bercahaya redup yang muncul di malam hari, tetapi dalam puisi, kata bulan bisa disimpangkan maknanya oleh penulis sebagai seorang kekasih, teman sepia tau seterusnya seterusya. Inilah yang disebut sebagai penyimpangan makna dalam puisi. Oleh karenanya, di sini pula ditekankan dalam membaca sebuah puisi, harus memiliki kepekaan atas maksud keseluruhan dari isi puisi. Sebab, tak jarang, kata Mawar atau Bulan pada satu puisi bermakna A, tetapi di dalam puisi lain bisa bermakna B, C dan D, sesuai konteks makna keseluruhan puisinya. Juga dengan demikian, dalam membaca sebuah puisi (yang sudah bagus), kamus tidaklah menjadi patokan satu-satunya untuk pekerjaan message hunting (penelusuran makna). Lagi-lagi. Kepekaan terhadap keseluruhan wacana atau pemikiran, yang hendak disampaikan oleh penyairnya.

Dalam buku SainsPuisi misalnya, dikatakan bahwa para filsuf islam seperti Ibnu Shina dan Al-Farabi menyatakan bahwa salah satu sifat yang sering muncul dari puisi adalah bentuknya sebuah Mukhayyal (imajinasi, fiksi), yang berbeda dengan sebuah diktat filsafat yang setiap kata-katanya haruslah mewakilkan sebuah konsep-konsep atau benda-benda dengan benar (jika ditulis mawar, maka dia harus merujuk pada kata mawar. Jika ditulis bulan, maka ia harus merujuk pada bulan—tidak boleh menyimpang). Dalam kaitan ini, dikatakan pula bahwa pengerjaan puisi memanglah berarti sebuah pengerjaan kreatif atas hubungan antara kata dan makna, bukan hanya sekedar menggunakan bahasa yang sudah tersedia di dalam tubuh masyarakatnya.




3.Penyimpangan Fonologis

Penyimpangan fonoligis, atau penyimpangan bunyi, juga kerap digunakan oleh sebagian penyair untuk memberikan efek tertentu terhadap puisinya. Biasanya, penyimpangan ini dilakukan untuk kepentingan rima, atau bahkan untuk kepentingan lain. Sebagai contoh,

Bunda waktu tuan melahirkan beta
Pada subuh kembang cempaka
Adakah ibunda menaruh sangka
Bahwa begini peminta anakda ?

Wah kalau begini naga – naganya
Kayu basah dimakan api
Aduh kalau begini laku rupanya
Tentulah badan lekaslah fani.

Dua bait puisi di atas adalah penggalan puisi Amir Hamzah yang berjudul “Buah Rindu.” Perhatikan pada kata “Fani” yang ada di baris paling akhir. Mungkin, bagi pembaca awam atau bahkan editor yang kurang wawasan ilmu puisi, kata “Fani” di sana akan dianggap sebagai sebuah salah ketik (typo) yang seharusnya ditulis “Fana.” Padahal, apa yang dilakukan oleh Amir Hamzah tidaklah lain praktik menyimpangkan suara akhir kata agar diperoleh kesetimbangan rima.

Chairil Anwar sebagai pelopor puisi kerap juga melakukan hal yang sama, untuk kepentingan tertentu.  Sebagai contoh dalam penggalan sajak “Aku” berikut.

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Perhatikan sajak di atas. Terutama pada penggunaan kalimat “‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu” dan “Hingga hilang pedih peri.” Pertanyaannya, apa yang telah dilakukan oleh Chairil Anwar dalam puisinya tersebut dengan menghilangkan huruf “A” dalam “Ku” dan “Kan”, serta menghilangkan huruf “H” dalam “Peri?” Jawabannya adalah bahwa Chairil telah melakukan penyimpangan Fonetis untuk tujuan tertentu.

Dalam “’Ku mau tak seorang ‘kan merayu” kita akan merasakan ungkapan yang dibuat oleh Chairil begitu lugas. Akan menjadi kurang lugas ternyata, ketika kalimat itu diubah dengan susunan fonologis yang sesuai dengan wajarnya: “Aku mau tak seorang akan merayu.” Dengan meyebutkannya demikan, ungkapan tersebut memang menjadi kurang lugasnya. Begitu juga akan berbeda rasa pembacaan antara berhadapan dengan kata “Pedih peri” dan “Pedih Perih.”

Secara pribadi, saya sendiri dalam praktik berpuisi seringkali melakukan hal demikian untuk kepentingan memberi efek tertentu. Salah satunya sebagai contoh, bagaimanapun saya mengetahui bahwa kata baku Bahasa Indonesia dari “fikir” adalah “pikir,” tetapi demi tetap mempertahankan efek bunyi huruf “f” ketimbang “p”, sampai saat ini, hampir di semua tulisan saya menggunakan kata “Fikir” ketimbang “pikir.”




4.Penyimpangan Sintaksis

Sintaksis merupakan sebuah kata yang digunakan untuk merujuk sebuah tata hubungan fungsional yang terdapat dalam sebuah bahasa (baca: kalimat). Menjadi apa sebuah kata dalam kalimat yang telah dibuat: apakah menjadi Subjek, Predikat, Objek, atau sebagai Keterangan pembantu. Setiap negara, pada dasarnya memiliki aturannya tersendiri dalam usaha penataan bahasa masyarakatnya. Indonesia, menganggap bahwa struktur kalimat yang normal untuk sebuah kalimat deklaratif (pernyataan) adalah yang paling tidak memiliki susunan sintaksis Subjek dan Predikat. Begitu pula, seperti dalam pernyataan kalimat aktif, susunan S dan P tidaklah benar jika dibalik menjadi P-S. Contoh: Aku (S) makan (P) nasi (O), menjadi Makan (P) aku (S) nasi (O). Pemutaran seperti ini tidak boleh dilakukan sebab akan menimbulkan kebingungan komunikasi di telinga pendengar, atau di mata pembaca, jika itu berupa tulisan. Lain halnya jika hal tersebut ada dalam praktik penulisan kreatif  (Poiesis).

Dalam Puisi (Poiesis), sebagaimana penyimpangan kebahasaan lainnya, kreativitas dalam struktur sintaksis justru dianjurkan, selama hal tersebut untuk tujuan menimbulkan efek kesenian tertentu. Sebagai contoh lain bisa kita baca puisi “Nisan” milik Chairil di bawah ini,

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Kerinduanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.

Perhatikan kalimat pembuka sajak di atas, “Bukan kematian benar menusuk kalbu.” Pada kalimat ini kita bisa menemukan Chairil melakukan pemutaran sintaks dengan menempatkan kata penegas di tengah antara subjek dan predikatnya, yang seharusnya diletakkan di awal seperti berikut, “Benar, bukan kematian (S) menusuk (P) kalbu (O). Begitu juga pada kalimat, “Tak kutahu setinggi itu atas debu dan duka maha tuan bertakhta,” yang seharusnya dalam kalimat-kalimat formal disusun demikian, “Tak kutahu (K1) maha tuan (S) bertakhta setinggi itu (P) atas debu dan duka (K2).”

Sebab kajian sistaksis juga melingkupi tidak hanya struktur kata, melainkan struktur frasa dan klausa, maka penyimpangan sintaksis ini bisa terjadi pada tingkat frasa dan kluasa. Sebagai contoh, pada puisi “Ini kali tak ada yang mencari cinta,” pada baris pertama ditulis kalimat (yang sama dengan judul) yang menyimpang dalam pembuatan frasa.

Di luar dari kajian semantic G. Jefrey L. itu, kita juga bisa menemukan berbagai penyimpangan lain yang dilakukan oleh para pegiat Puisi. Dalam konteks ini, salah satunya adalah adanya model penyimpangan sintaksis lain yang kerap dilakukan terutama oleh seorang penulis sajak. Yaitu melakukan pemenggalan kalimat yang dinamakan dengan Enjambemen; memenggal sebuah kalimat  ke dalam beberapa baris-baris (stanza), sebagaimana dalam tradisi perpuisian Indonesia Modern dipelopori oleh Chairil Anwar.




5.Penyimpangan dengan Penggunaan Dialek

Maksud dari penyimpangan dialek adalah penggunaan bahasa lokal ke dalam tubuh puisi yang berbahasa nasional. Dalam hal ini, yang dimaksud sebagai puisi yang normal adalah puisi yang menggunakan bahasa nasionalnya sehingga bisa diterima oleh masyarakat lintas kultur karena telah digunakan bahasa persatuan. Penggunaan kembali bahasa lokal ke dalam tubuh puisi akan membuat puisi dianggap kembali menyimpang dari tradisi perpuisian nasionalnya. Namun, lagi-lagi hal tersebut diperkenankan dalam penulisan kreatif demi tujuan tertentu. Adapun tujuan-tujuan tersebut di antaranya, untuk mempertahankan ciri khas pengucapan bahasa daerahnya sehingga tetap memberikan cita rasa lokalitas dalam puisinya, untuk mengangkat kearifan bahasa lokal di tempat bahasa itu dilahirkan yang mana kearfian baha sa tersebut tidak didapatkan baik pada katatabahasaan nasionalnya maupun pada bahasa lokal daerah lainnya. Sehingga, kebutuhan untuk menyampaikan kearifan atau muatan makna yang dimaksud mau tidak mau harus menggunakan bahasa/dialek lokalnya. Mari kita baca penggalan sajak “Penangkapan Sukra” milik Goenawan Mohammad di bawah ini,

Pusaran amat panjang, dan tebakan-tebakan amat
sengit, dalam perjalanan itu.
Sampai akhirnya iringan berhenti.
Tempat itu sepi.

“Katakanlah, ki sanak, di manakah ini.”
“Diamlah, Raden, tuan sebentar lagi
akan mengetahuinya sendiri.”

Ada ruang yang tak kulihat.
Ada gema meregang di ruang yang tak kulihat.
Kemudian mataku mereka buka. Lalu kulihat pertama kali
gelap sehabis senja.

Pada penggalan sajak tersebut, dalam dialog digunakan  kata sapaan “Ki sanak” dan “Raden” yang merupakan kata bukan dari dialek Bahasa Indonesia modern, tetapi dari dialek lokal. Penggunaan tersebut dikatakan sebagai sebuah penyimpangan, namun segerra dipahami penyimpangan tersebut memang diaktifkan bukan sebab kegagalan pemahaman terhadap penggunaan tata kebahasaan dalam menulis. Tetapi, justru sebaliknya dengan sebuah kesadaran untuk memberikan keutuhan suasana makna dari suasana yang hendak disampaikan oleh penulisnya. Alih-alih, akan menjadi rancu justru jika kata Kisanak di sana misalnya diganti dengan kata “Anda” yang merupakan leksis Bahasa Indonesia padahal yang hendak disampaikan adalah suasana dari kebudayaan lokal yang melingkupi dunia imajinatif puisinya.

Dari adanya penyimpangan dialek ini, pula kita akan dapat belajar, bahwa membangun suasana dalam penulisan kreatif, tidak memulu dengan menggunakan deskripsi mengenai apa yang hendak dihadirkan. Dengan penggunaan dialek khusus pun dalam tubuh puisinya, maka pembaca akan secara otomatis mengenal dan memahami maksud suasana yang hendak dibangun oleh penggubahnya. Nah, penggunaan bahasa-bahasa prokem keseharian yang sifatnya tak jarang seenaknya–seperti pada puisi-puisi mbeling demi menghadirkan situasi hidup keseharian yang apa adanya, vulgar dan tanpa tedeng aling-aling, juga bisa kita kategorikan ke dalam penyimpangan ini.




6.Penyimpangan dengan Penggunaan Register (Dialek non-Puisi)

Penggunaan Register ini pada dasarnya adalah bagian dari penyimpangan dengan menggunakan dialek. Hanya saja, apa yang dimaksud dari penggunaan register ini  membidik berbagai nomenklatur formal yang berhubungan dengan dunia keilmuan, profesi, atau bahkan bahasa lain di luar bahasa Nasional penulisnya. Seperti pada sajak milik Hamzah Fansuri berikut,

Thayr al-`uryan unggas  sulthani
Bangsanya nur al-rahmani
Tasbihnya Allah `Subhani’
Gila dan mabuk akan rabbani

Unggas  itu terlalu  pingai
Warnanya sempurna  bisai
Rumahnya tiada berbidai
Duduknya da’im di balik tirai

Perhatikan penggunaan frasa “Thayr al-`uryan”, dan kata “Da’im”, pada sajak milik Hamzah fansuri di atas. Bagi pembaca umum akan dengan mudah merasakan bahwa istilah tersebut bukanlah istilah yang diambil dari percakapan  umum bahasa nasionalnya, melainkan bahasa yang diambil sebagai bahan dasar menggubah puisi dari peristilahan teknis ilmu tasawuf. Begitu pula bagi mereka yang hendak mendalaminya. Maka, tidak dapat mungkin untuk masuk ke dalamnya, tanpa mempertimbangkan pemahaman atas keilmuan yang melingkupinya.

Penyimpangan-penyimpangan register ini seringkali muncul, terlebih jika penggubah sebuah puisi adalah merupakan seseorang yang dalam kehidupan sehari-harinya aktif dalam bidang keilmuan tertentu atau memiliki profesi formal di luar bidang sosial-humaniora; dokter, ahli teknologi informasi, ahli fisika dst.




7. Penyimpangan Historis

Sebagaimana Penyimpangan dengan Penggunaan Register, Penyimpangan Historis pula sebenarnya bisa dikatakan juga sebagai bagian dari penyimpangan dialek. Namun, yang dimaksudkan dalam Penyimpangan Historis ini adalah penggunaan bahasa-bahasa yang sifatnya sangat arkaik, diambil dari bahasa-bahasa kuno atau klasik dari masa yang telah jauh, yang mana masyarakat pada umumnya sudah tidak menggunakannya lagi dalam leksis bahasa nasionalnya, bahkan dalam percakapan bahasa lokal kesehariannya. Kembali, dalam bagian ini saya contohkan penggalan sajak milik Amir Hamzah yang berjudul “Nyanyi Sunyi.” Berikut,

Sunyi itu luka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus

Perhatikan penggunaan kata “lampus” di atas. Kata tersebut adalah kata-kata yang diambil Amir Hamzah dari bahasa melayu lama yang oleh masyarakatnya pada saat itu sudah tidak digunakan lagi. Namun menariknya adalah, secara pribadi, saya sendiri merasakan penggunaan kata tersebut justru tidak menjadi kata yang usang karena kekunoannya. Pertanyaannya, mengapa? Karena Amir Hamzah dapat menempatkannya dalam struktur puisi yang tepat baik secara bentuk (sajak berima) maupun makna (peleburan makna kata yang setimbang antar kata yang dihubungkan: kudus-lampus).




8. Penyimpangan Grafologis

Grafologi, atau ilmu penggunaan simbol-simbol tulis, merupakan bagian yang tidak terhindarkan dalam pembahasan Puisi Indonesia modern yang memang secara umum hidup dan berkembang melalui tradisi tulis. Dalam perkembangan ini, seluruh kelisanan dikonversikan ke dalam simbol-simbol kebahasaan berupa tulisan. Keberadaan bunyi kata (fonetik) digantikan dengan rangkaian huruf-huruf dan keberadaan intonasi dalam komunikasi lisan digantikan dengan keberadaan tanda baca dalam bahasa tulis;  Mayarakat teks = Masyarakat visual, sebagaimana pernah saya ungkapkan melalui sebuah puisi berjudul Kupu-Kupu dalam buku sainsPuisi berikut.

Lantas dalam kaitan ini, apa yang dimaksud dengan penyimpangan Grafologis dalam puisi? Yang dimaksudkan Penyimpangan Grafologis tidak lain adalah penyimpangan di dalam penggunaan simbol-simbol tulis tersebut. Dalam perpuisian pada umumnya, misalnya kita temukan dengan mudah  orang menuliskan puisi dari awal sampai akhir puisi tidak sama sekali menggunakan tanda koma, titik, pengakpitalan sesuai aturan tatabahasa nasionalnya yang baik. Hal-hal semacam itulah yang merupakan bagian dari penyimpangan Grafologis dalam Poiesis (penulisan kreatif). Dan dalam pola penulisan puisi eksperimental, penyimpangan grafologis kerap digunakan juga sebagai penguat elemen dan makna typografis, sebagaimana puisi Kupu-Kupu di atas. Bagaimana?




Penutup

Puisi, sebagai kerja kreatif (untuk kesekian kali saya mengatakan bahwa Puisi adalah kata kerja yang mencakup berbagai kegiatan kreatif, bukan kata benda), pada dasarnya adalah sudah pasti merupakan sebuah praktik eksprimen dalam berbahasa. Hanya saja, memang, dalam praktiknya, apa yang dikatakan sebagai Puisi Eksperimental (sebagai sebuah genre), terkadang sifatnya sangat-sangat eksploratif ketimbang wujud perpuisian yang dikerjakan oleh masyarakat pada umumnya.

Salah satu penyebabnya adalah, masyarakat umum kebanyakan, atau bahkan banyak para pegiat perpuisian dan sastra tidak dalam mempelajari seluk beluk ilmu puisi dengan benar, juga terus menyatakan bahwa puisi adalah lagi-lagi sekedar permainan dalam menyampaikan perasaan (kegembiraan, kesedihan, kemarahan, kesepian, kegelisahan, dsb.), atau fikiran-fikiran belaka, tanpa menghiraukan aspek usaha pernyataan berkeseniannya terhadap bahasa (to language splendor) yang bangsanya punya. Sehingga dengan demikian, maka diperolehlah satu pemisahan yang sebenarnya agak keliru, sebab faktanya secara praktik tidak bisa benar-benar dipisahkan secara tegas antara puisi yang konvensional (umum) dengan puisi yang eksperimental (benar-benar memiliki fokus terhadap eksperimen bahasa); kecuali memang antara yang ekstrim dari keduanya.

 

12 Januari 2020 —Sekian

 

______________________________
*Tulisan ini merupakan sebuah gubahan ulang (adaptasi) dari sebuah paper berjudul “Linguistik Deviation in Poetry Translation: An Investigation into The English Rendering of Shamlu’s Verse,” karya Hossein Pimajmuddin  dan Vahid Medhat, University of Isfahan, Iran., yang membahas bagaimana karakter penggunaan bahasa dalam Puisi yang dibedakannya dengan penggunaan dalam bahasa sehari-hari.

Materi tersebut saya adaptasi dan gubah ulang sesuai kontkes tradisi Perpuisian Indonesia, tidak lain untuk memberikan pemahaman umum kepada kawan-kawan, bahwa banyak hal kreatif yang bisa dilakukan di dalam sebuah Pelaksanaan Puisi, yang sifatnya—sebenarnya sangat-sangat eksperimental di dalam penggunaan bahasa yang kita punya.




Tags:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

AVANT PROPOSE


Puisi berasal dari bahasa Yunani, Poiein (buat/making) dengan tambahan -is (aktivitas) di belakangnya. Poiein+is, Poiesis (aktivitas membuat ulang). Kata ini digunakan dalam banyak konteks yang tak hanya pada pekerjaan seni atau lebih khusus seni berbahasa; pada kerja manufaktur hingga dalam penerapan ilmu kedokteran. Contoh yang paling sering saya bawa misalnya pada kata Hematopoiesis (proses natural pembuatan ulang darah: proses pengembangan darah di dalam tubuh yang melibatkan pembelahan hingga diferensiasi kefungsian sel). Akan tetapi, dalam hal ini baiklah kita batasi saja pada kegiatan seni membentuk ulang bahasa, yangmana, para pemikir Yunani ...

Klik Di sini

 

This will close in 0 seconds